Catatan Perjalanan Annapurna Base Camp (ABC) [Part 2]

Okay, mari kita lanjutkan cerita gw kemarin di Nepal, setelah kemarin gw posting perjalanan bagian pertama  sekarang gw mau lanjutin cerita bagian ke dua, semoga cerita gw ini memberikan secercah semangat untuk jalan jauh ke Nepal :D. Sik… aku tak nyeduh kopi dulu yhaa, maklum nulisnya baru bisa jam pulang kantor alias midnight :D.

Photo gw ketinggalan, ini di lakeside Pokhara yah

17 April 2017 (Day 5) ~ Long walk (New Bridge – Jhinu – Chomrong – Sinuwa – Bamboo)

Semalam heningnya malam membawa badan jatuh ke alam tidur dan pagi dingin kala itu di New Bridge, di kasur sebelah ada Tim yang masih tidur dengan nyenyaknya. “Morning Call” yang tiap pagi selalu membawa ke toilet masih normal seperti biasa, cuman sedikit ga enak adalah airnya yang terlalu dingin untuk “itu” hehe. Sinar matahari tipis-tipis terlihat dikejauhan mewarnai salju di gunung sana, ketika awan itu tersapu dibalik bendera warna-warni itu Annapura II dengan gagahnya berdiri, memanggil setiap manusia pencintanya untuk segera mendekat. Indahnya saat itu.

Sarapan pagi dengan Black Tea dan Chappati cukup untuk pagi ini, dan kita sikat untuk makan siang yang lebih enak. Obrolan sarapan pagi dengan Tim adalah perjalanan kita akan berlanjut dan lebih jauh hari ini yaitu dari New Bridge – Jhinu – Chomrong – Sinuwa – Bamboo. Hemm.. gw gelar peta di meja makan, huft man.. it will be a long walk mate, yang akan menjadi tantangan di sini adalah jarak yang panjang selain itu adalah trekking akan naik turun naik turun naik dan turun lagi. Seperti itulah kira-kira jika dilihat dari kontur di peta.

New Bridge (1340 mdpl) ke Jhinu (1780 mdpl) –> Perjalanan dari New Bridge ke Jhinu kurang lebih 1.5 jam, dengan trek menanjak terus, sedikit mendatar ketika menemukan perkampungan di jalan setapak menuju Jhinu. Tak usah khawatir kehabisan air disini, karena sepanjang jalan dari New Bridge ke Jhinu ada beberapa tempat bisa untuk kita mengisi air (ingat bawa botol pribadi ya dan jangan buang sampah sembarangan). Setelah bertemu sungai, jalan mulai menanjak terus hingga kita bertemu lodge yang cukup asri, dan itulah Jhinu. Nah, di Jhinu ini terdapat pemandian air panas (hot spring) yang jaraknya kurang lebih 15 menit perjalanan menurun dari Jhinu (jangan lupa beli tiket untuk ke hot spring), tapi gw akan ke hot spring sekembalinya dari ABC.

Di Jhinu terdapat beberapa lodge dengan biaya sewa sekitar 180 – 200 npr per malam, dengan fasilitas kasur yang lumayan, dan kamar mandi di luar, dan di halaman hostel terdapat bebrapa weed atau ganja yang tumbuh liar dengan hijaunya. Sepuluh menit beristirahat di Jhinu menunggu Tim yang sedang bingung karena kebelet modol hehe.

Jhinu ke Chomrong (2170 mdpl) –> Eaaakkk… ini salah satu juga yang bikin lutut kiri gw bergeter (waktu itu 10 bulan pasca operasi ACL), bagaimana tidak dari bawah hingga ke Chomrong tak satupun menemukan jalan datar, hingga mendekat ke lodge di Chomrong. Tangga-tangga tersusun dari bebatuan metamorf, dari analisis makroskopis bisa dilihat jika itu adalah mineral mika, yang berkelap kelip ketika terkena sinar matahari. Dari Jhinu ke Chomrong cukup memakan waktu kurang lebih 1.5 jam perjalanan, siap-siap yah lutut, dan tetap berjalan walaupun pelan. Tips dari gw sih tetap jalan, hitung langkah kaki misal 100 langkah kemudian istirahat 1 sampai 2 menit, kemudian lanjut lagi, sehingga ritme nafas kita tetap on the track.

Jhinu ke Chomrong

Chomrong merupakan salah satu check point untuk permit ACAP, jadi jika di ringkas seperti ini. Permit untuk TIMS check point dilakukan di Nayapul sebelum masuk pertigaan Gandrukh dan Grophani, kemudian untuk permit ACAP akan dilakukan di Chomorong, tepatnya setelah turun tangga akan menuju ke Sinuwa. Itu sedikit informasi untuk di Chomrong, gw tiba sekitar pukul 11.30 dengan cuaca yang cerah sekali, hampir tidak ada awan siang itu, sehingga langit biru terampang nyata di depan mata dan jauh disana terlihat Annapurna South, beruntungnya gw melihat avalanche dikejauhan (bisa kebayang pendaki-pendaki gunung 7,000an ke atas jika terkena avalanche). Gw dan Tim berisitirahat makan siang di Chomrong dan bertemu dua bule Italy (cowo) dan bule UK (cewe) dan mereka solo traveler, obrolan demi obrolan menghiasi siang itu, gw pesen fried noodles dan lemon tea yang harganya kira-kira 200-an npr total. Untuk porsi jangan khawatir, bagi lo yang makan banyak, menurut gw makanan sepanjang Annapurna trek cukup banyak kaya porsi tukang, jadi ga masalah kelaparan, tapi inget bawa duit yang cukup yak haha.

Chomrong (2170 mdpl) ke Upper Sinuwa (2360 mdpl) –> Setelah makan siang, baju kering dan mengisi air minum kita lanjutkan perjalanan ke Upper Sinuwa. Dari Chomrong Upper Sinuwa terlihat sungguh dekat, paling juga kalo ditarik lurus ga sampe 1 km, hanya saja, ke dua tempat ini dipisahkan oleh sungai, sehingga kita harus turun dulu kemudian naik lagi haha. Seperti yang sudah gw jelaskan tadi, ketika turun menuju Sinuwa, sekitar 100 meter, kita harus check point permit ACAP, dengan menunjukkan permit dan petugas akan menuliskan nama dan asal kita (Indonesia).

Pemandangan dari lodge di Chomrong (Kelas Banget ini) hehe

Menjelang lodge di Chomrong

Tangga-tangga menurun yang berjejer tampak tiada akhirnya, lutut yang mencoba menahan beban ketika turun sungguh sedikit tersiksa, nah di Chomrong bagian bawah nanti kita akan ketemu warung yang jualan snickers, rokok, energy drink dll., namun harganya sedikit mahal bagi gw hehe.. Lanjut jalan, hingga sampai di jembatan menuju Upper Sinuwa. Nah, dari sini mulai nanjak lagi, tanjakannya mirip-mirip kaya dari Jhinu ke Chomrong, namun sedikit lebih sejuk :D, dari Chomrong ke Upper Sinuwa kira-kira 2 jam perjalanan, karena Sinuwa sendiri dibagi menjadi dua, yaitu Lower Sinuwa dan Upper Sinuwa. Siang cukup panas, haus dan kantuk hufftt… tim yang berjalan lebih cepat sepertinya sudah sampai di Upper Sinuwa. Jam 14.30 akhirnya gw sampai di Upper Sinuwa, karena ngantuk banget didukung oleh angin semilir-semilir, gw tertidur di salah pojok salah satu lodge siang itu dan terbangung sekitar 15.00.

Gw bertanya pada Tim, “Should we go now? or will we overnight here”? Tim jawab, ayo lanjut ke Bamboo…!!!!

Upper Sinuwa (2360 mdpl) ke Bamboo (2310 mdpl) –> Okay Tim, let’s go!! Kebetulan jika dilihat dari peta, Upper Sinuwa itu 2360 mdpl dan Bamboo 2310 mdpl, jadi jalan ke Bamboo akan menurun, perkiraan 1 sampai 1.5 jam untuk sampai ke Bamboo. Ternyata kenapa namanya Bamboo adalah karena menjelang lodge di Bamboo, banyak pohon bambu di pinggir jalan. Tim memutuskan untuk jalan terlebih dahulu, karena takut tidak kebagian lodge di Bamboo, kerena bulan April adalah salah satu high season pendakian di Nepal, karena cuaca yang cukup mendukung (Spring) untuk trekking. Jika, trekkers yang menggunakan jasa guide, biasanya lebih aman, karena guide mereka biasanya melakukan pemesanan kamar terlebih dahulu sebelum pendakian. Jadi, kalo kaya gw ga pake guide sama porter, jadinya harus usaha sendiri nyari kamar.

Upper Sinuwa

Sampai jam 17.30 di Bamboo, Tim yang tergopoh menghampiri gw yang baru sampai di Bamboo, “Putu, no room, but an american guy pleased to share his room to us” huftt.. untung aja bareng Tim jalan, selain bisa sharing cost juga dia gesit banget haha.. Nah, disini perasaan gw udah ga enak, kaki pegel banget, lutut kiri gw kerasa nyeri dan tebel, kepala terasa pusing. Masih bingung antara AMS atau kecapean, tapi ga mungkin juga sih kena AMS karena elevasinya masih 2600 mdpl di Bamboo. Oya, gw dan tim sempat berdebat dengan pemilih lodge disini, karena esok hari kita akan berangkat lebih awal sekitar jam 5.30, sehingga besok kita tidak pesan sarapan pagi, namun pemilik lodge dengan nada agak tinggi berkata “You sleep here, you dinner and breakfast here” woooowwww.. chill pak.. chilll… If you don’t order breakfast, I will charge you double for the room, What the fuck!!!.. Disini gw kesel banget sama bamboo, selain uda capek, pegel ditambah lagi bapak ini ngeselin. Okay, tomorrow we’ll be leaving at 6.00, can you serve our breakfast at 5.45 ? , akhirnya gw dan tim cuman pesen satu chapati dan itu pun kita bagi dua hahahaha..

Bamboo , salah satu pemilik lodge yang complain

Disini gw ketemu sama rombongan trekkers Korea yang usianya kira-kira 40-an rata-rata, duduk berkumpul melingkar berbagi beer, dalam hati gw cuman bisa melihat, betapa segaranya jika bisa menenggak segelas beer saja.. haalaaahh dasar koe kere putu (gumam gw dalam hati). Selain itu rombongan korea juga sedikit heboh, karena mereka membawa makanan mereka sendiri dari korea.. kaya film-film korea bro.. haha.. rame banget. So far, malam itu adalah malam yang ga enak, selain kamar sedikit sempit, karena 3 kasur dalam satu kamar, dan kepala yang pusing. Okay, good night mate, see you tomorrow.

18 April 2017 (Day 6) ~ ABC Yang Gagal (Bamboo – Dovan – Himalaya – Deuralli) 

Pagi ke berapa yah hari itu, gw hampir lupa dengan namanya hari, yang gw ingat adalah trekking trekking dan trekking. Seperti yang kita diskusikan dengan pemilik lodge yang jutek itu, chapati cheese pagi sudah siap dengan black tea (pesenan gw paling black tea black tea dan black tea). Packing selesai, dan lanjut trekking… udara segar pagi itu merupakan penyemangat melangkahkan kaki, dan rencana hari ini adalah Bamboo – Dovan – Himalaya dan Deuralli.

Bamboo (2310 mdpl) ke Dovan (2520 mdpl) –> Bamboo menuju Dovan bisa gw bilang trek teringan dari sebelumnya, di peta kira-kira kita akan tempuh sekitar 1 jam, namun karena saking semangatnya, kita bisa tempuh 45 menit saja. Melewati perkebunan, sungai dan pemandangan indah tentunya. Salju masih tampak di kejauhan, masih jauh sepertinya untuk bisa menggengam salju untuk pertama kalinya. Tas carrier deuter vario 50+10 L gw ini terasa berat dan tidak bertambah ringan, mungkin saran gw bawalah seperlunya, jika memang mengharuskan lo bawa carrier besar (kaya pendaki-pendaki di Indonesia), bawalah daypack ukuran 30-45 liter, karena sangat membantu sekali. Tidak usah semua di bawa sak isi omahe di lebokno neng tas mu, malah mengko mesake banget lhoo. Oiyaa .. lanjut cerita yaa.. di dovan gw cuman numpang lewat aja ga sempet berhenti untuk sekedar minum air, so lanjut ke Himalaya bro.

Kondisi Dovan pagi itu

Dovan (2520 mdpl) ke Himalaya (2920 mdpl) –> Lanjut Dovan ke Himalaya yah.. ini bukan Himalaya yang Everest itu yakk.. cuman lodge atau kampung itu namanya Himalaya. Dari Dovan ke Himalaya trek mulai mendaki lagi, kira-kira 1.5 jam perjalanan jika dilihat dari estimasi yang ada di papan informasi. Pemandangan hampir sama dari Bamboo menuju Dovan, pepohonan, suara gemuruh sungan di bawah sana, batuan metamorf yang sepanjang jalan terlihat di tebing-tebing dipinggir jalan. Namaste adalah salah satu kata yang sering kita ucapkan ketika bertemu atau berpapasan dengan pendaki lainnya, baik yang turun maupun yang naik. Begitu juga dengan porter-porter yang bertemu di jalan, gw sesungguhnya ga kuat jika melihat bagaimana porter itu bekerja. Dengan beban yang ga kira-kira, bisa sampai 80 kg, sembako yang terisi di dalam keranjang bahkan terkadang tabung gaspun mereka bawa naik. Sungguh berat pekerjaaan mereka… Lha kok malah ngelantur 😀 . Ngelantur gini, ga kerasa malah udah sampe aja di Himalaya. Disini, cuman istirahat bentar, foto-foto dan isi botol air, kira-kira waktu itu jam 09.00-an.

Selamat Datang di Himalaya

Kalo lo liat kaya gini, berarti antara masih jauh atau uda deket hahaha

Himalaya (2920 mdpl) ke Deuralli (3200 mdpl) –> Lha iki.. baru joss sekarang,,, terus naik dan naik terus.. kayanya 2 jam perjalanan menuju ke Deuralli dari Himalaya,, nambah sekitar 300 mdpl untuk sampai di Deuralli. Trek ini adalah trek favorit gw kalo boleh jujur, nanjak terus tapi ga kaya dari Jhinu ke Chomrong atau Chomrong ke Sinuwa, masih mending cuman agak panjang dikit. Selain itu pemandangan disini juga baguuuuss banget, salah satunya adalah foto terfavorit gw. Disinilah gw pertama kali ketemu salju, wah ga kerasa ketika pertama kali kaki gw menginjak salju. Horaaii nya itu luar biasa.. senyum senyum sendiri, megang megang salju, remes-remes dikit, raup-raupin ke muka.. ahh noraaakk banget tu haha..

Dari tempat pertama liat salju, di kejauhan keliatan kampung, dan gw yakin itu adalah Deuralli. Terlihat dekat sih, namun masih sejam lebih perjalanan menuju kesana. Jalan aja terus, jangan berhenti, tips lagi yah, banyakin beli makanan manis kaya snickers di kota (Pokhara), karena harganya lebih murah dibandingkan disini. Semakin tinggi tempat kita, semakin mahal harga makanan. Oleh karena itu, hemat-hemat yahh, kalo budgetnya terbatas kaya gw. Kalo, misal budgetnya sedikit berlebih gpp, makannya yang enakan dikit bisa kita dapat disini, dari western food, korean food, sampai nepali’s food.

Oya, di jalan menuju Deuralli ini gw papasan sama nenek yang umurnya kalo terawangan gw sekitar 65-an mendekati 70, tapi bro, ini nenek jalannya selow tapi jalan terus ga berhenti-berhenti, dan beberapa kali nyalip gw dan bilang ” Come on young man!! move your ass off”, jleg dalah hati gw dicengin nenek-nenek. Eh tau-taunya sampe Deuralli, kita malah ngobro bertiga sama tim sambil makan siang. Yap, dia adalah nenek petualan asal Brazil, yang sedang bertualan menjelajah India, belajar Yoga, belajar Geologi satu semester doang dan apalagi yah, nenek yang pengen ke Indonesia untuk mendaki Cartenz dan she’s nice person :D, ciao grandma..

One of my best spot

This is my first time to see and touch snow

Di Deuralli, kita dapet kamar yang tanpa harus berbagi dengan trekkers lain. Kamar kecil dengan dua tempat tidur yang nyaman (dibuat nyaman sih), ada wifi juga (tapi bayar), gw coba-coba nyolong wifi tapi ketauan kayanya karena di bill keesokan harinya ada tulisan wifi charge (shit….). Mie goreng disini enak banget, pedesnya walaupun ga sesuai sama lidah gw, tapi tetep juara sih. Pelayanannya juga ramah ga kaya di Bamboo. Oya, gw di Deuralli bawah, karena ada juga lodge di Deuralli atas. Siang itu abis makan siang gw dan tim berencana untuk lanjut langsung ke ABC (Jadi kalo ini sampe ABC, kira kira kita akan ke ABC dalam waktu 2,5 hari saja), tapi setelah 45 menit jalan kaki, awan mulai naik menyusuri lembah menuju ABC, shit, it would be hard up there Tim (kata gw). So, kita memutuskan untuk kembali lagi ke Deuralli dan ke ABC esok pagi hari. Di lodge, kita habiskan waktu membaca buku, ngobrol dengan trekkers lainnya hingga gelap menjelang.

Okay.. lanjut tulisan berikutnya yah.. gw udah ngantuk nih… njir besok kudu bangun pagi lagi (kantor man) … siii yaaahh..

 

Folded metamorphosed sedimentary rocks …

Gw ga pake sempak di luar yak

Estimasi perjalanan yang tiap lodge selalu ada

Segeerrr

Ini waktu dari Dovan ke Himalaya.. hello Tim, haha

 

 

Catatan Perjalanan Annapurna Base Camp [Part 1]

Hai, kembali lagi ke blog ini sekitar dua bulan belum gw update tulisan disini, dan tulisan kali ini adalah salah satu tulisan yang setiap ketikan kata yang gw tulis adalah kenangan dan pengalaman selama perjalanan gw dari Indonesia ke Nepal. Dan semoga tulisan ini bias bermanfaat buat lo semua yang mau berangkat trekking ke Annapurna Base Camp (ABC) di Nepal.

Perjalanan gw ke Nepal adalah salah satu bentuk “target dan hadiah” setelah banting tuluang untuk mengerjakan thesis dan  keberhasilan lulus pasca sarjana, jadi ini adalah salah satu bentuk penyemangat gw untuk cepet-cepet selesai beresin thesis. Dan tiket untuk perjalanan pergi dan pulang dari Indonesia ke Nepal sudah gw pesan sejak bulan November 2016 dengan rajin mantengin harga tiket dari hari ke hari sehingga dapet harga Indonesia ke Nepal dengan transit di Malaysia adalah di harga Rp. 3,500,000,-. Sekilas ada beberapa maskapai penerbangan yang melayani perjalanan Indonesia ke Nepal, salah satunya adalah Malindo Air, awalnya gw sangsi dan ragu sama maskapai ini, karena ada logo si singa yang citranya kurang baik di Indonesia dengan delay dll. nya hehehe.. namun Malindo Air menurut gw cukup baik untuk dengan harga tersebut karena ada LCD ada film Hollywood, Bollywood, Thamel, Indonesia dll. Dan juga dapet makan baik dari Indonesia ke Malaysia dan Malaysia ke Napal. Cukup rekomen untuk naik maskapai ini.

Seperti perjalanan gw yang udah-udah, gw cuman jalan sendiri dan sempet posting di Backpakcer Indonesia (BPI) tentang rencana perjalanan ini, namun tanggal nya tidak pas, selisih sehari. Jadi gw putuskan untuk jalan sendiri saja, dengan beberapa persiapan yaitu peta, global positioning system (GPS), obat pribadi, jacket dll.

13 April 2017 (Day 1)

Hari yang ditunggu telah tiba, penerbangan dari Indonesia – Malaysia – Nepal, taksi dari kantor (daerah Sudirman) mengantar gw ke bandar udara Soekarno – Hatta, supir taksi dengan rasa penasaran melihat apa yang gw bawa bertanya “Mau ke mana mas?”, hem gw jawab mau jalan-jalan pak hehe.. “Itu bawaannya banyak yak?”, iya pak, mau ke gunung eheh… l!@#&^%!@#*!&^@# dan obrolan berlanjut sepanjang perjalanan sampai bandara. He was a nice driver 😀 .

Penerbangan dari Soekarno-Hatta menuju Malaysia cukup lancar dan tepat waktu oleh maskapai ini, di dalam pesawat pramugari yang ramah dan tentunya makanan yang ditunggu-tunggu :D, penerbangan 2.5 jam ini tak akan terasa bosan karena ada hiburan yang disediakan. Sampai di bandar udara Kuala Lumpur (Malaysia) gw lanjut ke gate selanjutnya untuk penumpang transit, di kejauhan gerbang keberangkatan tersebut terlihat ramai dengan orang-orang Nepal yang terlihat seperti orang India.

Menunggu penerbangan Malaysia ke Nepal, gw bertemu dengan tiga orang yang wajahnya terlihat asing yang sepertinya ia adalah pendaki senior atau orang terkenal di bidang pendakian gunung. Terang saja setelah mengobrol dengan salah satu dari mereka ialah Mas Iqbal, seorang dokter yang akan ikut dalam ekspedisi ke Yala Peak di Nepal. Obrolan berlanjut, ia adalah Muhammad Gunawan atau Kang Ogun, seorang pendaki senior Indonesia yang telah berjuang melawan cancer dan akan melakukan pendakian ke Gunung Everest tahun depan (2018). Gw bersyukur bertemu orang-orang hebat dalam perjalanan ini, dan nanti di Kathmandu gw akan bareng dengan rombongan Kang Ogun di hostel hingga akan berpisah untuk keberangkatan ke Annapurna.

Penerbangan dari Malaysia ke Kathmandu kurang lebih 4 jam, perjalanan lancar sedikit sekali bouncing akibat cuaca kurang baik, diluar terlihat hanya kelap kelip lampu dari ketinggian. Mata terpejam dan terbangun lagi, dan gw masih di atas sini, hingga ketinggian perlahan menurun dan mendaran di Tribuvan Airport Kathmandu (Nepal). Benar kata orang bijak, bandar udara adalah gerbang pertama untuk melihat bagaimana maju atau tidaknya negara tersebut, hal tersebut gw rasakan ketika tiba di Tribuvan, jika dibandingkan dengan Soekarno Hatta atau Ngurah Rai, kita sedikit berbangga, karena bandar udara kita jauh lebih baik (Balinese Pride).

Apa saja yang diurus ketika di Bandara?

  1. Pertama urus Visa Nepal, visa di Nepal adalah Visa On Arrival (VOA) jadi langsung bisa diurus ketika di bandara, biaya tergantung lama visa yang diajukan. Gw bayar $25 USD untuk 15 hari. Untuk apply visa dengan dua cara, yaitu isi formulir di kertas atau isi formulir di personal computer yang telah disediakan. Yang harus disiapkan adalah foto ukuran paspport dan jangan lupa pasa passport yah.
  2. Setelah selesai, Visa disetujui, lanjut ke bagasi
  3. Di bandara ini juga bisa langsung menukarkan USD kamu ke NPR (Nepal Rupee), ada yang bilang rate di bandara lebih bagus ketimbang di luar. Pengalaman gw kemarin, gw ga nuker dollar di bandara, karena sudah di jemput mbak vita. Rate di Kathmandu leih baik dari Pokhara. Di Kathmandu 112 npr per 1usd, di Pokhara 100 npr per 1 usd.

Sampai keluar bandara, gw bareng dengan tim Kang Ogun, dimmana Mbak Vita (Istri Kang Ogun) telah menunggu di sedari tadi. Wah gw merasa beruntuk diselamatkan di Kathmandu dengan orang-orang baik ini. Dari bandara menuju ke Shakti Hotel di daerah Thamel (pusat backpakcer di Nepal), dan kebetulan saat itu sedang bertepatan dengan tahun baru kelender Nepal, jalanan sunggu ramai, penuh klakson, pesta dan debu tentunya hehe.

Oya, untuk reservasi hotel gw menggunakan http://www.booking.com

Kang Ogun dan Team 😀

 

14 April 2017 (Day 2) ~ Ngurus TIMS  dan ACAP

Hari ke dua di Kathmandu, pagi yang sangat cerah awan biru terlihat dari celah jendela hotel gw. Rencana hari ini adalah pergi ke Nepal Tourism Board (NTB) untuk mengurus izin (permit) untuk trekking di Nepal. Pagi itu gw dan tim kang ogun, mbak vita, mas Iqbal dan pak Frans sarapan pagi bersama di hostel, lempar cerita-cerita dan pengalaman mereka tentang tujuan pendakian kang ogun, dan mbak vita yang menjadi salah satu kartini Indonesia. Gw takjub dan bersyukur bisa berbicara sedekat ini dengan mereka, orang-orang yang sangat sulit dijumpai di Indonesia, dan akhirnya bisa sedekat ini dengan mereka.

Setelah sarapan pagi gw pergi untuk mengurus permit, berbekal informasi dari petugas hostel dan peta yang disediakan di hostel. Permit yang harus di urus di NTB adalah Trekker’s Information Management System (TIMS) dan Annapurna Conservation Area Permit (ACAP), biasa masing-masing permit adalah 2000 NPR baik untuk TIMS dan ACAP. Apa saja yang diperlukan untuk mengurus permit tersebut, yaitu foto ukuran passport 4×6 warna ataupun hitam putih tidak masalah dan passport, jika diperlukan jangan lupa bawa fotocopy passport ya. Untuk alamat NTB ada di jalan Pradarshani Marg, Kathmandu. Selain di Kathmandu, kantor NTB juga ada di Pokhara jadi tenang aja.

Nepal Tourism Board (NTB), tempat pengurusan permit TIMS dan ACAP

Bagaimana jika gw males ngurus permit?, bagi lo pada yang males ngurus permit lo bisa pake fasilitas yang biasa disediakan oleh hostel baik di Kathmandu atau di Pokhara, dengan biaya 45 usd. Jadi, semua terserah lo, mau urus sendiri atau urus pake jasa hostel.

Trekker’s Information Management System

Annapurna permit atau ACAP

Hari ini gw sempetin untuk cari kartu lokal namanya NCell, untuk biaya beli kartu dan paket internet 1GB harganya 1000 npr, dengan terlebih dahulu mengisi formulir dan foto di lembar isian. Beda dengan di Indonesia, yang lo ga usah isi formulir data diri, yang kebanyakan hanya sekedar ngisi aja hahaha. Keliling seputaran Thamel yang merupakan salah satu pusat backpacker di Nepal, sepanjang jalan yang gw liat adalah toko-toko yang menjual keperluan pendakian seperti down jacket, trekking pole, botol minum, celana quick dry, kompor dll. tapi merek tersebut kebanyakan KW atau ga asli, ada The North Face (paling banyak di palsuin), Archteryx, Mammut, Marmot, Columbia dll. Namun, jika mau cari yang asli juga ada, ada 3 atau 4 counter yang menjual barang-barang original di sekitar Thamel, ada 2 counter The North Face, 1 Marmot, 1 Black Yak, 1 Moutain Hardware tinggal pilih mau masuk kemana haha. Untuk harga, gw gak shock ketika masuk ke counter The North Face, sepatu yang di Jakarta harganya 4.2 juta bisa disana harganya 2.6 juta (separuh harga) dengan model yang sama, begitu juga dengan kacamata Julbo harganya lumayan dibandingkan di Indonesia. Hehe.. kalo mau belaja silahkan hehe.

Pagi itu di Thamel

Besok hari gw rencana untuk berangkat dari Kathmandu ke Pokhara, dimana untuk trekking di ke Annapurna Base Camp (ABC) kota terdekat untuk menuju Nayapul adalah dari Pokhara. Untuk ke Pokhara ada dua pilihan moda transportasi yaitu darat (bis) dan udara. Untuk tiket bis berkisar antara 600-900 npr dan pesawat kira-kira 80 usd (informasi temen). Nah, untuk bis ke Pokhara gw pesen di hotel dengan harga 700 npr yang akan berangkat dari Kantipath road jam 07.00 pagi, lewat dari itu sudah ga ada bis lagi. Selain beli di hostel, lo juga bisa beli langsung di Kantipath road, pastikan lo dateng agak pagi sekitar jam 06.00 am lo uda disana.

 

15 April 2017 (Day 3) ~ Bis tipu-tipu dan Ketemu Tim

Pagi ini gw bangun lebih dulu dari pada alarm hp gw, mungkin karena berasa semangat dari semalem. Mandi dan sarapan gw berangkat dari hostel kira-kira jam 06.15, dengan estimasi jalan kaki kurang lebih 10 menit. Di Kantipath road, pagi itu sudah berjejer bis-bis yang akan menuju Pokhara, kurang lebih ada 20 bis yang akan berangkat ke Pokhara pagi itu. Gw tunjukin tiket gw ke salah satu pengemudi bis dan bertanya bis gw kira-kira sebelah mana, dengan gesture yang bisa gw baca (kepala geleng-geleng), dia berkata “No bus…”, okay gw masi terima, gw jalan lagi ke supir berikutnya, sama dengan gesture geleng-geleng, satu supir lagi di bilang “Perhaps two or three bus from here”, oke gw masih jalan dan akhirnya dari ujung ke ujung dan balik lagi ke ujung bisnya ternyata ga ada, what the f*ck, the hostel guy lied to me. Dan pas itu juga gw telpon si hostel tempat gw nginep, dan baru ngomong “ Hallo good morning… “ pulsa gw abis. Anjir lah… Dan solusi terakhir adalah gw beli tiket bis lagi untuk ke Pokhara dengan harga 600 npr, lebih murah 100 npr dari pada di hostel. Khan taiiikk…

Di dalem bis, gw masih belum bisa terima dengan kejadian ini, dan gw berjanji balik ke Kathmandu, hal yang pertama gw lakukan adalah dating ke hostel itu dan minta duit gw dibalikin!!!. Tepat sekitar jam 07.00 bis mulai berangkat, bis disini dilengkapi AC dan kipas angin haha.. jadi kalo lagi musim panas AC dipake, kalo lagi musim dingin lo cukup idupin kipas angin aja. Asyiknya sejam perjalanan kita sering dapet “break” untuk buang air kecil, dan lunch break. Total 4 kali break untuk sampe di Pokhara.

Salah satu tempat istirahat bus menuju Pokhara

Jalan menuju Pokhara akan ditempuh kurang lebih 8 jam perjalanan, dengan pemandangan perbukitan dan latar belakang pegunungan beratapkan salju di kejauhan. Sepanjang perjalanan gw perhatiin berapa kali truk yang berpapasan atau yang disalip, bentuknya unik dan dengan gambar-gambar dewa (siwa, ganesha) atau symbol-simbol Hindu, dan mayoritas truk yang gw liat mereknya Tata Motors, pabrikan India.

Pemandangan perjalanan menuju Pokhara

Disalah satu tempat “break” secara tidak sengaja gw melihat seseoarang dengan sandal jepit Ando dan tshirt “Rip Curl Bali” berwarna hitam duduk di tangga ketika gw selesai buang air kecil. Gw sapa orang itu, “Hey.. is it flip-flop from Indonesia?”, orang itu terkejut dan langsung membalas “ How do you know?”, I’m from Indonesia mate. Awal obrolan itu berlanjut dengan berkenalan, dan ia adalah Tim, seorang Karibia yang tinggal di Bali karena bapaknya kerja di Timor Leste, Ibu bekerja di green school Ubud, dan dua adiknya sekolah di Green School Ubud. What the fuck mate, world so closed, so you’re living in Bali now, yes I’am. Cerita-cerita dia baru balik dari Everest Base Camp (EBC) dan mau leyeh-leyeh di Pokhara dan ga mau trekking lagi (itu kata dia sih), eh see you Tim, bis gw mau jalan.

Sampe di terminal bus di Pokhara, lo akan ketemu banyak “cab” atau taksi, yang ukurannya mini dibandingkan taksi-taksi di Indonesia. Saking mininya mungkin maksimal 4 orang jika ditambah tas carrier lo, bakalan desek-desekan didalem. Dari terminal bis ke Lakeside Pokhara (pusat nya Pokhara) paling jalan kurang lebih 2.6 km, kalo naik taksi lo bayar sekitar 400 npr, jadi coba cari barengan jadi lebih murah. Gw dapet barengan 3 bule cewe, jadi share bayar 100 npr per orang. Hehe…

Hostel gw di Pokhara namanya Peace Eye hostel yang uda gw booking sebelumnya di booking(dot)com, harganya 700 npr per malam, jadi mayan lah hehehe, ga mahal-mahal amat. Sembari duduk-duduk nunggu kamar gw dibersihin, ga sengaja gw ketemu lagi sama Tim yang lagi cari hostel. Hey Tim, see you again :D, wahh obrol dan obrol akhirnya kita akan bareng ke ABC, tapi besok setelah TIMS dan ACAP doi selesai diurus sekitar jam 10 am. Alright, jadi besok ke ABC gw ga sendiri, jadi jalan bareng Tim, yeah.. :D.

Tampak depan Peace Eye hostel

Kamar denga 2 bed, 700 npr dan kamar mandi di luar

 

16 April 2017 (Day 4) ~ Fcuk ATM and Going to New Bridge

Wahh pagi yang cerah di Pokhara, gw terbangun jam 5.30 am. Ketika pintu gerbang hostel pun belum terbuka. Gw inisiatif untuk ambil kamera dan keliling pagi2 di sekitaran danau di Pokhara. Masih sepi, dan beberapa turis sudah siap-siap dengan carrier nya untuk pergi trekking atau malah balik ke Kathmandu. Udara disini boleh di bilang kaya di bedugul segernya, banyak pepohonan dan sangat berbeda dengan di Kathmandu yang berdebu itu hahaha…  Menjelang sarapan pagi, gw bertemu dengna Tim di café kopi namanya AM/PM Coffee, ngobrol-ngobrol tentang rencana untuk hari ini yaitu, Tim ambil duit di ATM, nungguin permit dan les gho.

Menjelang jam 10 am, permit Tim sudah ditangan, namun masih kendala dengan mesin ATM yang ada di Pokhara, kata Tim, mesin ATM disini terlalu tua untuk kartunya, jadi hampir semua mesin ATM di Lakeside yang dimasuki tidak bisa diambil uangnya, jadilah kita muter-muter hingga akhirnya salah satu ATM ketika menuju Nayapul berhasil ditarik.

Menuju Nayapul dari Pokhara akan ditempuh 1.5 jam perjalanan dengan taksi, namun jika naik bis local estimasi kurang lebih 3-4 jam, karena banyak berhenti dan istirahat. Perjalanan ke Nayapul di kejauhan lo bisa liat Annapurna II dengan gagahnya, dan ini pertama kali gw liat langsung gunung ditutupin salju hehehe. Oya, tarif taksi dari Pokhara ke Nayapul itu 2000 npr, lo bisa tanya ke hostel untuk pesen taksi, dan tarif taksi fixed price.

Way to Nayapul

Sampai di Nayapul, matahari sungguh terik, beberapa jeep dan taksi ngetem di warung dimana gw dan tim turun. Trekking gw kali ini adalah langsung ke ABC dan tidak ke Poonhill, karena gw berfikir karena waktu yang gw punya tidak cukup untuk trekking ke Poonhill kemudian lanjut ke ABC. So,let’s go to ABC, target hari ini adalah bermalam di New Bridge.

Dari Nayapul perjalanan berlanjut ke Siwai, mentari sungguh menunjukkan sinarnya tak hentinya, jalanan kerikil sedikit berdebu, pinggir jalan sungai dan beberapa pendaki yang telah turun dari ABC dengan senyum lebar. Jangan lupa, di Nayapul kira-kira 1 km berjalan dari ujung jalan, akan ketemu dengan pos checkpoint untuk TIMS. Sedangkan untuk ACAP akan dilakukan pengecekan di Chomrong. Lanjut berjalan setelah pengecekan permit, beberapa menawarkan untuk naik taksi atau jeep mereka, namun dengan harga yang cukup mahal. Bayangin aja 1000 rupee satu orang untuk ke Siwai, gila aja. Namun idealisme gw sama Tim luluh juga ketika kita bisa nawar harga jeep ke Siwai jadi 400 rupee satu orang, oke mungkin ini jalan terbaik hahah…

Checkpoint TIMS

Siwai adalah tempat terakhir dimana busa, taksi dan jeep mangkal. Kalian bisa naik kendaraan ketika turun dari ABC langsung ke Nayapul atau langsung ke Pokhara. Namun jika naik jeep dan taksi harganya lebih mahal.

Dari Siwai kita mulai berjalan lagi menuju New Brigdge, kurang lebih 3 jam perjalanan menuju New Bridge. Naik dan turun sudah menjadi hal lumrah di trekking ini, pemandangan yang sangat indah awan tipis-tipis, bebatuan metamorf terpajang di dinding bukit, lembah dengan suara deru air sungai mengalir. Masuk pepohonan dengan tangga-tangga batu tersusun rapih untuk pendaki. New Bridge terlihat dari kejauhan di persimpangan jalan menuju Landrukh dengan beberapa lodge disana, tim yang lebih dulu sampai telah memesan kamar untuk kita berdua. Oya, makanan disini enak dan disini gw baru tahu jika kalian mandi, akan kena charge jika make hot water.

Kiri ke ABC via Poonhill, Kanan langsung ke ABC

Lodge di New Bridge, kalo mandi bayar yah hehe

Stop Asking “JODOH”

Hai balik lagi ke blog gw, mohon maaf lahir bathin ya kawan-kawan  atas kesalahan sengaja gw. Oya gimana libur lebarannya? Kayanya pada asik dan seru yah, akun instagram gw aja sampe penuh foto-foto liburan di rumah sampe foto-foto traveling yang tzakep abes. Anyway, gw pengen sharing cerita dan pertanyaan saat nongkrong bareng temen, ketemu temen kuliah, ketemu client, dll. Mau tau pertanyaannya?? Yap bener banget kalo lo mikir tentang pertanyaan pacar, jodoh sampe kapan nikah 😂😂
Gw pengen cerita dulu deh sebelum mulai, gw seorang pria lajang dengan usia (cek fb gw aja) dan sekarang sedang bekerja di Jakarta kurang lebih 4 tahun gw di Jakarta. Semenjak mulai merantau sejak lulus SMA sampai sekarang, gw cukup jarang yang namanya menjalin hubungan atau pacaran, bukan karena gw kurang ganteng atau ga laku (hahaha membela diri) tapi emang waktu itu gw fokus kuliah sama jalan-jalan hahah… Hingga akhirnya pada saat usia sekarang. Oya gw etnis Bali, yang orang tua asli Bali yaitu singaraja (bapak) dan singaraja (ibu), yang pasti lo bisa interpretasi langsung kalo agama (KTP) gw adalah Hindu. Iya emang, agama gw Hindu, salah satu agama minoritas di Indonesia dan identik sekali dengan Bali. 
Sejak gw merantau ga banyak sih wanita Bali yang gw ketemu (jaman kuliah temen jalan gw jarang sama anak2 Bali) wanita Bali, paling ketika di pura saja baru ketemu segerombolan wanita2 Bali memakai pakaian sembahyang adat Bali dan beberapa bergandengan tangan dengan pacarnya, nah kalo gw gandengannya sama tiang lampu di pura hahaha… Di kuliah gw pacaran sekali itupun beda agama, cukup lama sih waktu itu (karena gw setia). Lho kenapa sih ga pacaran sama wanita Bali waktu kuliah?? Pertanyaan bagus, bukannya ga mau, tapi ga ada satu atau duapun yang gw deketin berhasil, karena yang gw deketin sedikit sih itupun yang nyarinya banyak hahaha…. Jadi mungkin kalah ganteng aja gw, dan wanita Bali disana itu dulu kalo gw boleh bilang ‘SOMBONG’, sombong dalam artian dia milih berdasarkan daerah.. Huft 😏😏. Ini gw generalisir karena gw pake beberapa sampel yang gw temuin, mungkin saja bener, bisa saja salah. 
Masuk ke zaman kerja pada tahun 2010. Pekerjaan pertama gw sampe 2012 itu dihutan dan pasti saja mengurangi interaksi gw dengan dunia, lingkungan kerja sama jangkrik, uler dan temen-temen crew bor yang kekar itu. Yaa obrolannya ga jauh dari film, mereka bukan pencita film bioskop yang keren dan nyaman itu, mereka hanya pecinta film yang bergente monoton dengan adegan berulang ulang di setiap film nya, dan durasinya paling lama 30 menit sekali judul, lo tau kan jenis film itu hahah, emang paling cocok di tonton di tengah hutan, film itu bisa mempersatukan semua penghuni camp di tengah hutan tanpa sinyal itu hahaha. Ahh kok malah ngelantur.. 
Okay, dua tahun di di kalimantan akhirnya gw ketemu pacar orang Bali pertama gw. She was nice…dan akhirnya pindah jakarta, eh akhirnya putus haha.. Sejak itu gw mencari dan terus mencari, bertemu lah dengan wanita yang menurut gw ‘perfect’ dari peepective gw. Man you kinda love her too 😅, but that was just as short as light velocity and still have questions what has just happened. (Sok enggress gw yaa 😅). Nah ini lah awal kenapa gw buat tulisan ini, pembukaannya lama juga yaa. 
Okay, ini sedikit cerita dari hasil ngopi sama temen kuliah s2 gw saat siang itu, sebut saja namanya Jhon (J). 
J : Tu lo lagi disini (kantor gw)? Yuk ngopi di bawah! 
G : okay mas, ntar gw turun yak… 
J : eh, uda lama lo disini? 
G : uda mas, tapi baru ketemu lo sekarang yak.. Hahaha 
Mesen kopi sambil di siang cerah itu, dan kamu duduk di luar coffee shop dengan angin semilir dan asap rokok yang terkadang mampir masuk ke lobang hidung. 
J : eh, apa kabar lo? Kuliah aman? 
G : aman mas, lo juga aman pastikan..
J : ehh cewe lo siapa tu sekarang? Kapan nikah lo? 
G : njir, ga ada pertanyaan laen mas? Hahaha… Belum mah gw, nikah belon tau, calon nya belon ada mas … 
J : lha, yang kemarin gimana? 
G : ahh.. Itu… Uda enggak lagi mas 
J : sok ganteeeeng lo sih ya (dengan nada sedikit nyolot hahah), milih milih sih lo ya…
G : bukan mas, ga gitu hehe.. Njir gw kaga milih-milih mas, yang ada itu, kaga ada pilihan mas, jadi gw kaga ada yang dipilih. Kalo ada pilihan mah gw uda langsung aja mas hehe 
J : eh, di Bali masi ada kasta-kastaan gitu ga sih? Dan lo garus sama orang Bali juga kan (Hindu) 
G : masih mas, kasta masi ada mas di Bali dan kebawa juga sampe jakarta di jaman sekarang. Contoh nya kalo lo laki dan kasta rendah (Sudra) lo ga ‘bisa’ nikah sama pacar lo hang kasta di atas lo misal Brahmana. Karena dia keluar dari ‘puri’ nya. Gitu juga sebaliknya cewe yang atas ga bisa nikah sama kasta rendah kaya gw 😂😂😂. Beberapa kasus bisa mas, tapi umumnya kaya yang gw bilang tadi sih. 
Kalo yang harus Bali (Hindu) itu iya dan tidak mas. Kalo iya, itu pasti karena biar mudah satu keyakinan khan, dan karena gw cowo gw punya warisan bukan barang yang harus gw jaga, sehingga kalo bisa jangan sampe malah gw yang convert ke agama istri. 
J : wanjir, masi ada yaa kasta-kasta gitu di Bali. Lo uda minoritas terus di bagi bagi kaya lapisan sediment ya haha.. Gw sih kurang setuju di jaman sekarang masi kaya gitu tu, lo ga minta lahir di keluarga mana kan, dan lo berhak nentuin jalan hidup lo. 
G : iya mas, gw uda minoritas disini, trus di sekat kasta dll. Belum lagi kalo kadang ketemu wanita Bali di pura, eh uda ada cowonya 😂😂😂 
J : iya sih… (Seruput kopi) , eh tu siapin uang SPP haha 
G : iya mas , mau bayaran yaa kita haha 
Hening tiba tiba ketika mendung tiba tiba datang membawa rintik rintik mengenai gelas kosong kami. 
Begitulah beberapa pertanyaan yang sering gw temuin ketika ketemu temen atau yang lainnya jika sedang membahas tentang jodoh, maklum yah di usia kaya gini bahasannya rada berat, sama kaya berat badan gw yang ga santai ini. 
Semoga semesta membuka tabir akan misteri ini hahaha…
Salam..
wijayaryputu

Gunung Agung Part II : Pesona Yang Tak Pernah Hilang

Melihat foto-foto di hardisk dan terlintas salah satu folder “Gunung Agung Part II”, gw coba buka lagi foto-foto itu , indah juga yaa Gunung Agung, selepas pendakian pertama gw tahun 2013 bareng Komang (Adek gw). Lama tak mendaki gunung karena kesibukan kuliah mengakibatkan rasa kangen menghirup udara segar tak tertahankan. Namun apa daya, kewajiban harus dituntaskan terlebih dahulu. Oya, karena pendakian ini punya cerita menarik, walaupun belum setahun berlalu, ingatan gw tentang pendakian bersama lima orang lainnya masih terasa.

Teman SMA

Pendakian itu pada tanggal 18 Juli 2015 yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, dimana tahun lalu (2014) gw juga ada di puncak Gunung Tambora pada saat Idul Fitri 😀 hehee.. Gw lanjut yah, gw mendaki bareng lima orang lainnya dimana dua orang adalah temen gw waktu SMA. Mereka adalah Agus “Doyok” Mahadi, Arya Dharma (kaga ada nama jeleknya), Ervina (istrinya doyok), Mbok Inten (temen kantornya Doyok) dan Mas Priyo (Pacarnya Mbok Inten), iya pendakian ini emang gerombolannya Doyok sih hahaha..

Ini sudah kami (gw dan doyok) rencakan sebelumnya, ketika gw ada rencana cuti untuk pulang ke Bali (ndaki teroooss kata Ibu gw), Doyok berencana akan mengajak istrinya yang penasaran akan hobby suamminya ini , man It would  be tough!! Gumam gw dalam hati. Karena pendakian gunung Agung, bukan pendakian yang biasa, menurut pandangan gw, mendaki gunung agung butuh kesiapan fisik dan mental yang baik dan juga karena alasan sumber air yang sulit disini. But, kita akan saling menjaga tentunya.

Senyum sebelum mendaki (Ki-ka: Mbok Inten, Doyok, Ervina, Arya, Gw, Mas Priyo)

Senyum sebelum mendaki (Ki-ka: Mbok Inten, Doyok, Ervina, Arya, Gw, Mas Priyo)

Arya Dharma adalah salah satu temen SMA gw, yang bareng sekelas waktu kelas 1 SMA dulu, namun lama tak bertemu, sekalinya ketemu ngajak naik gunung. Dan Gunung Agung akan jadi Gunung ke 2 setelah Gunung Batur.

Mbok Inten dan Mas Priyo adalah pasangan idaman gw, pasangan yang sama-sama punya hobby bertualang, saling mengisi dan pas lah menurut gw, dengan gear mendakinya yang buat gw breath taking sedikit, gimana gak tarik nafas, biking mupeng liat gear nya. hehe..  They were very kind and experience

Pukul 10.00 wita kami tiba di pos pendakian (pos pendakian yang gw maksud disini tak seperti pos pendakian pada gunung-gunung di Jawa pada umumnya) dan disusul oleh Mbok Inten 20 menit berselang. Udara sejuk dan cuaca cerah sangat mendukung pendakian kami, waktu itu tak terlihat ada pendaki lain yang mendaki bersama kami. Sepertinya hanya kami enam orang yang akan mendaki siang itu. Doa sejenak dan let’s go!!!

Lima puluh meter melangkah nafas terasa sengal dan keringat mengucur (wah cepat amaat), yap, tubuh sedang mencari kesetimbangan (baca ritme) antara langkah kaki dan nafas kita yang akan bersinergi, maka aturlah langkah kita ketika mendaki, tak usah cepat-cepat dan jangan juga lambat-lambat. Langkah kaki yang konstan akan sangat membantu.

Pendakian Gunung Agung menyuguhkan pemandangan yang beragam dan luar biasa, dari kebun-kebun warga, berubah menjadi hutan, bebatuan (batuan andesit) dan pasir-pasir yang akan menyulitkan pendakian.   Jika tidak salah ada tiga pos pendakian sebelum kita sampai di puncak, yaitu pos 1, pos 2 dan pos 3 (kori agung) dan malam ini kami akan bermalam di pos 3 yaitu Kori Agung.

Perjalanan Menuju Kori Agung

Selama perjalanan dari pos Pura Besakih hingga pos Kori Agung kami tempuh kurang lebih 7-8 jam perjalanan, iya lumayan lama karena ada Arya sempet kram kakinya setelah pos 2 dan istrinya Doyok yang terlihat letih ketika mendongak melihat tanjakan hahaha peace mbok.

DCIM100GOPROG0124635.

Nanjak teruuussss

Tanjakan tiada henti untuk menuju gunung dengan ketinggian 3,142 mdpl ini. Penuh tantangan memang. Senja menjelang, mentari pun bersemayam di barat dan kami masih belum mendirikan tenda, sementara itu ada suara-suara ramai di atas sana. Ternyata mereka adalah sekelompok rombongan anak-anak SMA yang mendaki tanpa membawa tenda , “sakti” gumam gw dalam hati, malam nanti mereka akan berlindung di balik dinginnya batu-batuan andesit yang menjulang di pos Kori Agung.

DCIM100GOPROG0144646.

Lautan awan sebelum pos Kori Agung 😀

Pukuk 17.30 wita gw tiba terlebih dahulu untuk mencari tempat untuk membangun tenda (info : tempat untuk membangun tenda di pos Kori Agung sangatlah sedikit alias sempit, maksimalkan besar tenda yang akan digunakan, gw pake tenda kapasitas 2-3 orang) dan temen-temen masih ada di bawah. Gelap mulai meraih, dingin mulai menghinggap dan bintang mulai menampakkan wujudnya yang melalui jutaan tahun cahaya itu. Dua puluh menit berselang doyok dan lainnya pun datang, kita bagi tugas untuk memasak dan membangun tenda. Masakan malam itu adalah mie kuah telor dengan tambahan sayur, ditambah sosis goreng dan kopi tubruk, nikmat tiada tara hahaha.

Malam Indah di Kori Agung

Waktu terus berjalan, malam makin malam ditambah suara binatang dari segala penjuru. Sejauh mata memandang kelap-kelip lampu kota berwarna kuning, putih dan merah dikejauhan. Arya yang malam itu sedang tidak enak badan (kelelahan, kram betis dan  badan panas) tergolek lemas di dalam tenda. Kata gw, “Arya, istirahat saja dulu dan minum obat ini, besok kita summit ya” agar dia semangat menyambut esok dini hari, karena perjalanan kita belum lah usai :D.

Gw menepi sedikit ke atas, berjalan beberapa meter meninggikan elevasi, meningkatkan jangkauan pandangan. Waaaahhh… lo mungkin ga percaya dengan apa yang gw liat malam itu. Hanya satu kata untuk menggambarkan ini ‘INDAH’, iya indah sekali, indah yang bisa menggambarkan banyak hal, menurut gw ini lebih dari apa yang indah gw temu sebelumnya, walaupun kali ke dua mendaki gunung ini.

Malam penuh bintang di Kori Agung

Malam penuh bintang di Kori Agung

Merebahakan diri melihat ke atas langit yang penuh akan bintang, berkelakar sendiri dengan beberapa buuku yang gw baca tentang alam semesta karya Stephen Hawking dan Richard Dawkins. Membayangkan cahaya bintang yang sampai di mata kita telah berjalan melalui jutaan tahun cahaya,aah lupakan itu, nanti tambah pusing hehe. Tenang berada disini, suasana seperti yang paling nikmat untuk dikunjungi, tak hanya gw mungkin berpkirian seperti ini, mungkin doyok, arya, ervina, mbok inten dan mas priyo pun akan berpikiran hal yang sama.

Continue reading

[Singaraja – Bali] Air Terjun Sekumpul

Hai, ini lanjutan perjalana gw selama liburan kemarin di Bali yang sebelumnya hiking ke Gunung Batur melihat indahnya matahari terbit yang tentunya itu keren banget. Di Singaraja (rumah gw) bingung juga mau kemana, temen-temen uda pada gendong anak, bengong sendirian di rumah itu ga enak juga dan kurang produktif. Bangun pagi, ibu pergi ke kantor, bapak pergi, adek pergi ke kampus, dan gw duduk sendirian menatap layar tv yang isinya gossip artis, yang harga beritanya tak lebih dari harian lampu merah.

 Pagi cerah dengan suara burung di depan rumah yang hampir setiap hari berkicau tanpa false sedikitpun, berbeda jauh dengan tempat dimana gw sekarang ‘bertarung’ di Jakarta, tempat dimana hampir seluruh ‘manusia’ mengadu nasib, mencari JODOH dan masa depan di kota ini. Ahh uda deh, lupakan saja bayang-bayang cerita Jakarta sejenak di rumah dimana kasih sayang selalu menyelimuti tiap sisinya. Miss my home 😦

Sebelum pulang ke Bali, gw denger dari temen gw tentang air terjun Sekumpul atau Bahasa inggris nya Air Terjun Sekumpul (air jatuh), nah dari beberapa kali googling liat peta dan lain-lain, jadilah pagi itu jam 10.00 wita gw berangkat menuju Desa Sekumpul, Kecamatan Sawan , Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali, lengkap gw tulis untuk lo pada yang mau kesana, biar ga banyak nanya lagi ahahaha.. piss 😀 .

Perjalanan ke Sekumpul jika normal itu tidak kurang 1 jam-an (tambah 30 menit) dan itu kalo ndak ada masalah apa-apa di perjalanan ya. Start dari rumah gw di Singaraja (Kaliuntu) melalui jalan perkotaan dan bergradasi melihat tanah-tanah gersang dan berganti lagi menjadi dataran tinggi tapi tetap panas (Singaraja terkenal dengan daerah yang panas karena berada di tepi pantai, dan membentuk karakter penduduk keras dan Bahasa bali yang cukup kasar), dikanan kiri jalan tak banyak pemandangan karena tertutup oleh rumah-rumah penduduk, sementara di ujung sana terlihat birunya langit ditemani awan dan hijaunya pepohonan.

Air Terjun Sekumpul

Sekitar 1 jam sudah motor melindas jalan aspal menuju Sekumpul, dan gw tiba di pintu gerbang Sekumpul Waterfall. Biaya tiket disini di bagi menjadi dua satu yaitu tiket (katanya parkir) parkir dan tiket masuk yang kalo tidak salah gw bayar Rp.5000 atau Rp. 10,000,- . Lo ga usah pake guide lokal juga ga masalah kecuali kalo lo emang anaknya males buat jalan, dan males buat navigasi dimana lo berada sekarang 😀 . Jadi disini ga gw cantumin berapa biaya lokal guide ya (karena gw bukan travel agent ahaha) karena lo seharusnya ga usah pake juga sih. Perjalanan masih berlanjut karena dari pintu gerbang selamat datang di Air Terjun Sekumpul masih sekitar 1 – 2 kilometer lagi untuk di tempat gw parkir motor, kalo mobil parkir nya sekitar 200-300 meter dari pintu gerbang atau loket karcis.

Di Air Terjun Sekumpul itu terdapat 6 atau 7 air terjun , dan untuk sampai disana dari parkiran motor harus berjalan kaki menuruni anak tangga yang jumlahnya pernah gw hitung tapi lupa hitungannya di tengah-tengah jalan hahaa…. Yang pasti sedikit ada masalah di lutut lo kalo mau sampe di bawah. Belum lama berjalan dari tempat parkir, gw kaya masuk ke dunia yang berbeda, kalo pernah nonton film nya Indiana Jones yang kurang kurang lebih nya kaya gitu deh. Dari atas sini gw liat 3 air terjun ada di depan gw, mengalir bak lukisan berjalan dengan tampias air yang terbang terbawa angin. Ga sabar nih sampe bawah … let’s go …

Air Terjun Sekumpul

Air Terjun Sekumpul

Sekarang tepat 3 air terjun ada di depan mata gw, suara menderu air yang jatuh dari atas sana menciptakan percikan buih dan bulir-bulir air yang terbang menghantam muka. Air nya terlihat jernih sekali, salah satu sumber air untuk warga Singaraja adalah dari Sekumpul ini (lihat di google map). Kalo dari bebatuannya iseng-iseng sih gw liat, air terjun ini tersusun dari Breksi vulkanik, terlihat dari fragmen-fragment besar yang menyudut, hemm dahulunya bisa jadi ini intrusi, ahh sudah lah hehe… Jadi hal yang bisa lo lakuin di Air Terjun Sekumpul ini adalah mandi, foto-foto selfie, wefie atau apalah namanya dan tempat ini rekomendasi untuk dikunjungi dibandingkan tempat-tempat wisata mainstream di Bali kaya Kuta, Nusa Dua yang sekarang uda macet nya ngimbangin Jakarta. Ehh ini bukan penutup, gw ada mau cerita sedikit tentang ‘masalah’ kecil administrasi pengelolaan air terjun ini dan cerita lucu/unik dari bule prancis :D.

Jalan Menuju Air Terjun

Jalan Menuju Air Terjun

Air Terjun Sekumpul (dari dekat)

Air Terjun Sekumpul (dari dekat)

‘Kerikil” Kecil Air Terjun Sekumpul

Dibalik indah nya Air Terjun Sekumpul ada sedikit kerikil kecil di balik pengelolaan air terjun ini, ini gw sadari ketika gw hendak mengunjungi air terjun lainnya di area Sekumpul Waterfall. Seperti yang uda gw jelasin di atas ada 6 air terjun disini. Nah, ketika gw hendak ke sisi air terjun yang lain, seorang menanyakan hendak kemana, dari percakapan itu ia mengharuskan gw untuk membeli tiket terusan untuk ke tiga air terjun tersebut, lah gw ga mau tau dong, kan gw uda bayar pas masuk tadi. Baiklah dari pada gw buang-buang energy untuk berdebat gw beli tiket terusannya, dengan pernjanjian setelah ini gw mau ngobrol sama bli tadi.

Dari informasi bli tadi, ada yang menarik yaitu secara administratif Air Terjung Sekumpul berada di Desa Lemukih dan Sekumpul hanya mempunyai 1 air terjun yang masuk ke wilayah administratifnya. Namun, para pengunjung yang mempublish tulisannya di web (termasuk gw) menyebut bahwa tempat ini adalah kawasan Air Terjun Sekumpul, so lambat laun nama Sekumpul semakin di kenal. Di lain sisi, dari Desa Sekumpul telah lama mengelola air terjun ini dengan membuat anakan tangga atau akses menuju air terjun dari desanya. Begitu juga dari desa Lemukih yang membuat akses ke air terjun yang sama, jadi namanya mau apa bli? Air Terjun Sekumpul atau Lemukih nih kata gw?, hemm .. dia bingung garuk-garuk kepala.

Papan Pengumuman Air Terjun Lemukih ? atau Sekumpul ?

Papan Pengumuman Air Terjun Lemukih ? atau Sekumpul ?

Gimana ? Masih kurang bagus ?

Gimana ? Masih kurang bagus ?

Nah, apakah tidak ada upaya mediasi dari ke dua desa ?, dia  menjawab, mediasi telah dilakukan dengan pembagian persentasi dari tiket masuk atau karcis, namun belum ada kata sepakat untuk pembagian hasil satu tiket itu, sehingga itu mengapa ketika gw sudah di bawah harus bayar satu tiket lagi untuk menuju air terjun lainnya yang secara administrative ada di Desa Lemukih. Sedikit kompleks memang, mungkin bisa dirundingkan untuk jalan keluarnya supaya pengunjung tida bingung dengan penarikan dua kali tarif yang berbeda. Astungkara :D.

Si Bule Prancis Yang Ga Mau Rugi

Nah kalo yang satu ini lebih unik dan lucu menurut gw, setelah mengambil foto dan video di air terjun tadi gw jalan untuk pulang, namun awan mendung datang dan rintik hujan pun satu persatu turun membasahi pepohonan. Sejalan dengan itu gw liat pasangan bule yang hendak ke air terjun, namun mengurungkan niatnya karena hujan mulai turun dengan derasnya. Gw ga banyak bicara sama mereka, karena pada waktu yang sama gw coba interview dengan bli penjual karcis masuk itu mengenai masalah pengelolaan air terjun Sekumpul.

Tiga puluh menit berlalu sejak gw duduk di pondokan bersama beberapa pengunjung yang kehujanan, tiba-tiba seorang menepuk pundak gw dan berkata “Hi, can you speak English or Indonesia” dengan akses Prancis nya, gw jawab Ya, gw bisa Bahasa Inggris, Indonesia sama Bahasa Bali, ada yang bisa gw bantu ?, Tanya gw ke dia. Oke, sesi dia curhat nih kayanya,

Bule     : Oke, gini mas, tadi gw beli tiket masuk sama bapak itu, satu tiket harganya Rp. 15,000, dan karena hujan, gw dan cew gw berniat untuk batalain ke air terjun itu.

Gw       : Terus, apa yang bisa gw bantu ?

Bule     : Emmm… gw bisa minta tolong ga sama lo, tolong sampein ke bapak itu, kalo gw batal kesana dan gw minta duit gw balik lagi Rp. 30,000, dan gw akan balikin tiket nya

Gw       : Anjiirrrr , dalam hati gw berkata, faaaakkkk.. come on … Are you serious ? Karena liat muka nya melas banget, ya uda gw coba bantu… ahhhh dasar bule F&$(!*&$@#)$(* . Ya, gw bilang ke bapak nya dengan Bahasa Bali dengan sedikit candaan biar duit nya mau di balikin, dan untungnya bapak itu mau kasi balik duit Rp. 30,0000,- dan si bule kasi balik 2 karcis yang di beli tadi

Bule     : Thanks, mate for your help, (sambil senyum senyum)

Gw       : Ahhhhh… That’s ok kembali kasih .

So, pesan yang ada adalah pertama bule kebanyakan Eropa atau Amerika sangat strict sama yang namanya service , kembalian duit atau apapun lah itu namanya. Kalo misal dia naik taxi dan di argo tertera Rp. 75,500,- mereka bayar Rp.80,000 mungkin mereka akan minta kembalian itu haaha. Kedua, buat cew-cew yang ngefans dengan orang bule, endak semua bule yang dateng ke Indonesia itu tajir, jangan lo anggep dapet bule secara langsung lo bisa hidup aman secara ekonomi. Hemm… gw bilang gitu karena gw jadi ga laku kalo semua cew Indonesia ngejer bule.. hahahahaa….. kamf@#$*!@(#*$&(@&$..

 

Nyaman Jalan Kaki Disini

Nyaman Jalan Kaki Disini

Nebeng nampang dulu lah

Nebeng nampang dulu lah

 

Kapok Naik Gunung

Kata itu terumpat delapan tahun silam (2007), ketika teriknya matahari di Gunung Lawu mematahkan semangat, debu kering yang menyesakkan kerongkongan dan keringat yang terus mengucur membasahi baju compang waktu itu. Bingung juga kenapa gw naik gunung waktu itu, dari silsilah belum ada keluarga di rumah yang pernah mendaki gunung, dan rayuan maut saudara-saudara Teknik Geofisika UPN ’05 lah yang pada akhirnya gw mencoba naik gunung. Dan ini adalah pendakian pertama dan gagal sampai puncak, bukan catatan buruk sebenarnya, namun langkah pertama itu adalah awal kaki gw melangkah lebih jauh untuk berkelana.

“Peluhku menguap bersama panas yang terik menyengat badan, tenggakan segelas air putih menyegarkan hawa kala itu”

Gunung Lawu di tahun 2007, awal kaki ini melangkah untuk menjelajah

Gunung Lawu di tahun 2007, awal kaki ini melangkah untuk menjelajah

Kembali dari Gunung Lawu, sempat terpikirkan untuk tak lagi untuk mendaki gunung, karena alasan capek, lutut sakit dan nyeri ketika sudah sampai kost. Tak ada nikmatnya. Dan, di kesempatan berbeda, ada pertanyaan dari Ibu, Ary kamu ngapain naik gunung ?, Naik gunung terus kerjamu yah… Duh Ibu, itu pertanyaannya susah, cuman bisa di jawab kalo uda naik gunung, dan beberapa pertanyaan aneh dari beberapa teman-teman di Bali.

Apa sih yang menarik dari mendaki gunung? Hanya lelah yang kamu dapat, keringat dan waktu yang seharusnya kamu habiskan untk pergi ke Mall atau kumpul bareng temen-temen motormu. Man, tapi dengan apa yang telah gw lakuin hanya satu yang gw dapet dari mendaki gunung yaitu Pengalaman, yang nantinya bercabang-cabang menjadi suatu rangkaian deretan pengalaman hidup di tiap pendakian. Gunung yang sama kita daki untuk kali ke dua atau ke tiga akan mempunyai cerita yang berbeda dalam pendakiannya, lhooo kok gw jadi suka ndaki gunung gini ? ahh.. ga konsisten nih…

Saat dimana tangis haru mu itu tak memandang Pira maupun Wanita

Saat dimana tangis haru mu itu tak memandang Pira maupun Wanita

Hemmm… baiklah jujur gw menjadi salah satu manusia di bumi yang gemar mendaki semenjak turun dari pendakian pertama, ternyata pendakian pertama adalah langkah awal dari pendakian kedua, ketiga dan…… Mendaki menjadi hobby, mendaki menjadi falsafah hidup dan framework dalam mencapai sesuatu tujuan. Dari sini juga gw ketemu dengan teman pendaki yang selanjutnya menjadi sahabat dalam beberapa pendakian gunung di Jawa Barat.

Pendakian di Gunung Cikuray ; Tak saat dimana kita bisa bersama seperti ini, berbagi senyum untuk senyum berikutnya :D

Pendakian di Gunung Cikuray ; Tak saat dimana kita bisa bersama seperti ini, berbagi senyum untuk senyum berikutnya 😀

Boleh lah ya gw cerita pengalaman gw naik gunung disini biar temen-temen pada “kapok naik gunung “ lagi 😀 . Ada hal yang pertama yang gw ambil dari pendakian perdana gw di 2007, yaitu persahabatan, pengenalan karakter masing-masing kawan gw waktu itu. Iya, mulai dari sana ternyata kita tau mana yang emang fight, mana yang ngeluh but whatever dengan apa karakaternya, karena dari sanalah kami/kita bisa mendaki bersama dan turun dengan selamat karena itu menurut gw yang lebih penting dibandingkan hanya sekedar mengabadikan moment di atas sana.

Akhir kata, buat temen-temen yang sudah sering mendaki tetaplah membumi walaupun banyak gunung telah kalian “taklukan” gw yakin pengalaman-pengalaman itu akan membuat kalian lebih mempunyai pengalaman dan value di kehidupan, begitu juga buat temen-temen yang baru memulai mendaki gunung jaga dan rawatlah alam , tinggalkanlah jejak mu bukan sampah mu, bawalah cerita dan photomu bukan edelweiss yang dipetik di atas sana.

Deretan tenda warna-warni ini akan selalu menjadi kenangan dan hangatnya sapaan mereka

Deretan tenda warna-warni ini akan selalu menjadi kenangan dan hangatnya sapaan mereka (Rinjani 2014)

 

Salam Lestari –  Wijayaryputu

 

Mt. Papandayan with Tristan and Rebeca

This special my special note, dedicated to Tristan and Rebeca

Friday crazy traffic was horrible for Tristan and Rebeca who’s landed safely last night in Jakarta. That was a great welcoming for them especially for Rebeca’s first coming to Indonesia.

I surprised to see Tristan for second time, he doesn’t looks change a lot since first time I met him 5 years ago in Jogja. He keeps his dred-lock hair (gimbal), charming and very kind. And also now he is traveling with Rebeca, the girl who are very special beside him (always).

Tristan and Rebeca have two weeks’ vacation in Indonesia. Mt. Papandayan will be the first place they visit and followed Bali afterwards. I suggested them to join our trip to Mt. Papandayan because of Independence Day on 17th of August.

Me, Rebeca and Tristan :D Rock you guys

Me, Rebeca and Tristan 😀 Rock you guys

We started from Kampung Rambutan bus station where another three of my pals were waiting us, they are Andre, Yusi and Martha, while we were fighting against traffic to get there. After pushing around with traffic finally, we got a bus, not really bad but for sure we have our comfort seat to spend 4 hours to Guntur bus station. While on the bus Tristan talked a lot about their life and what he’s doing in Spain and also Rebeca with hers job as an artist, man I’m a lucky one have friends like you guys, time goes by flew me away to a thousand stars to fell asleep.

Along the way to Mt. Papandayan

The sun comes up warm us from the cold morning in Cisurupan, many people walked pass me by, they are on group with seven to eight people with same destination to Mt. Papandayan to celebrate Indonesian’s independence day tomorrow (Sunday, 17th August 2014).  We met another group with 4 persons and later on they are our travel mate to Mt. Papandayan. Started from Cisurupan , We paid Rp.20,000 per person to Camp David and our trip just begun.

Along the way to Camp David I can see what Tristan and Rebeca’s feeling on that time and I said ” Welcome to Indonesia” brotha,, with this trip I’d like to introduce them my beautiful country. Mt. Cikuray stand up like a big hero behind us.

After finished registration, we started hike to Pondok Salada, where Pondok Salada will be our first check-point before summit attack day after. This is my second time hike to Mt. Papandayan, but I thought that I got good feeling with this, talking with them gave me  new perspectives about life, Tristan and Rebeca traveled thousand kilometers from their home to Indonesia, touch our peacefulness, our fresh air, culture and people, you are too lucky mate.

We took two hours of hiking to Pondok Salada, as I predicted before, Pondok Salada fully with people, tents had stood up with nice color, orange, blue, yellow, red etc. Yusi, Andre and Martha took their job preparing our lunch mean while Santo, Riri and I build up our tents. Sky was so blue, cloud make that noon really beautiful.

Mt. Papandayan team

Mt. Papandayan team

 

Sunrise at Tegal Alun

I woke up at 03.00 am and they’re still fell asleep in their dream, the air was really cold outside when I opened up the tent’s door. Thanks to Riri who helped me out for making coffee, not bad, so far it helped to keep us warm.

As my experience, trip to Tegal Alun will take around an hour, we started to hike at 04.00 am and without Rebeca because she got fever L. Cold night but stars stare at us up there, really clear and bit windy until we walked up around an hour, when I looked back, man.. that was so amazing cumulus’s like an ocean and sun shine spread on it. Thanks Indonesia for this beautiful landscapes.

Sunrise at Tegal Alun, Mt. Cikuray stands up like a boss

Sunrise at Tegal Alun, Mt. Cikuray stands up like a boss

Thank you very much Tristan and Rebeca for accompanying me to Mt. Papandayan with my friends and thanks for visiting Indonesia (again). One day I will visit your country and take me to explore Spain.

 

IMG_3137

Indonesian’s flag at Tegal Alun

 

 

 

 

IMG_3045

Thanks mate 😀

IMG_3017

Edelweiss, this flower is endless like I love you lol

 

IMG_3185

Alkaline Trio – What do you think, if we put hotels up there ?

 

 

IMG_3184

Our tent inside

 

Yell yeah, we are at Hutan Mati

Yell yeah, we are at Hutan Mati

IMG_3174

Handsome single guy

 

 

My Closing Trip 2014 : Gunung Gede Pangrango [Part 1]

Tahun 2014 adalah tahun dimana perjalanan gw mengenal Indoenesia berlanjut, dari pendakian Gunung Rinjani hingga Gunung Tambora, menyebrangi lautan menatap birunya langit dari ketinggian, melepas penat dan ramainya kota Jakarta di pelosok tanpa manusia, suara jangkrik, kodok dan terkadang monyet yang meraung bersautan adalah hal yang paling nyaman dibandingkan deru besi panjang terkepul asap hitam menyembur ke udara, tak terurai dalam sehari.

Di akhir bulan Desember 2014 ini secara tidak sengaja di tempat gw kerja sebagian karyawannya “dipaksa” cuti untuk menyambut hari Natal dan Tahun Baru 2014, kalo dihitung hitung gw punya 10 hari off. Jujur gw bingung di siang mendung itu, liat ke jendela awan hitam pekat seakan menjadi momok jika ingin “jalan-jalan” di Indonesia di bulan ini. Ya sudahlah, liburan di Jakarta aja hemat-hemat, kan mau kuliah (gumam gw dalam hati),toh kalo jalan pasti tiket pesawat melambung nya udah ga karuan.

Hingga malam, sebuah buku yang sedang gw baca mengusik pikiran untuk jalan di akhir tahun ini, buku dengan judul Menyusuri Garis Bumi karya Clement Steve, menjadi racun malam itu, membaca kisah pendakiannya di tahun akhir 1960-an hingga 1990-an mengawang pikiran gw untuk mendaki Gunung Pangrango dengan cerita indah Mandalawangi-nya yang jadi tempat favorit almarhum aktivis Soe Hok Gie.  Dan juga dua hari kemudian dapat kabar dari temen GDA akan backpacking ke Lombok, yang nantinya berubah haluan ke Bali karena sesuatu dan lain hal. Indahnya Indonesia memang terlalu sayang untuk sekejap dilewatkan, gugusan gunung, hutan, pulau dan pantainya selalu menunggu untuk di gagahi.

 

Gunung Pangrango : Postingan Facebook yang membantu

Gunung Pangrango merupakan kawasan Taman Nasional yang termasuk ke dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang ditetapkan pada tahun 1980 yang mencakup luas 22,851.03 Ha (Sumber www.gedepangrango.org/tentang-tnggp) . Untuk jalur pendakian terbagi menjadi tiga yaitu, jalur pendakian via Cibodas, Gunung Putri dan Salabintana.

Malam itu sebenernya gw bingung mau naik sama siapa, hingga sempat memutuskan untuk mendaki sendiri sebelum akhirnya temen gw Dearly kasi info jika pendakian Gunung Gede & Pangrango minimal adalah 3 orang (mulai pusing pala gw). Siapa coba yang mau di ajak mendaki akhir tahun gini, dan mau susah kehujanan di jalan.  Ga kurang ide, malam itu juga gw posting rencana pendakian gw di tanggal 24 – 26 Desember 2014 di Facebook, dan bener aja, ga butuh waktu lama beberapa anak-anak geofisika UPN dan temen mendaki (Mbak Kiki dan Mas Reza) confirmed, senang hatiku 😀 .

Prosedur pendakian TNGGP menurut gw “ribet dan enggak user interface” banget, ribet disini adalah kita harus melakukan tukar menukar simaksi di kantor TNGGP, dimana menurut pandangan gw di zaman yang kaya sekarang ada baiknya bisa dilakukan pembayaran dan screening online, setidaknya bisa menghemat waktu, hal kedua adalah user interface untuk pendaftaran yang beberapa kali gw salah isi dan ketika di backspace data ilang semua. Secara garis besar prosedur pendaftaran adalah sebagai berikut :

  1. Daftar/isi kolom nama pendaki/group dan ketua kelompok pendakian
  2. Isi data kelompok (minimal jumlah pendaki 3 orang)
  3. Bayar dan validasi pendaki di kantor TNGGP Cibodas

Yah sudahlah, kebetulan Mbak Kiki dan Mas Reza akan mengurus validasi simaksi ke Cibodas :D, dan yang berikut adalah teman-teman pendaki 😀 Gw (Putu), Debby, Mbak Kiki, Mas Reza, Heri dan Ivan, namun dua hari sebelum pendakian Mas Ivan canceled karena mudik ke Lampung.

 

Mt. Pangrango Here We Go 

Tanggal 24 Desember 2014 akhirnya datang juga, Heri yang sedari kemarin telah sampai di Jakarta dari Jogja masih terlihat sayu (jetlag) naik bis Jogja – Jakarta semalaman. Namun ada yang beda untuk pendakian ini, yaitu baru pertama kalinya gw mendaki naik mobil pribadi (Mbak Kiki), aneh sih memang, ga ada yang namanya ke terminal Kampung Rambutan seperti biasanya, melihat keramaian manusia berbagai dengan tujuan dan juga pendaki-pendaki yang sedang menunggu bus ke berbagai daerah terutama gunung di sekitar Garut.

Mbak Kiki dan Mas Reza adalah pasangan suami istri yang menurut gw pribadi mereka berdua adalah pasangan yang saling ngelengkapin, yah namanya juga mereka pacaran dari SMA, selalu seneng kalo merhatiin mereka berdua (iri gw), hehe.. Oya satu lagi selain Mbak Kiki dan Mas Reza, ada satu lagi cewek temen Mbak Kiki, namanya Deby,  begitu dia memperkenalkan namanya. Tak banyak yang kami bicarakan di mobil dengannya, hanya segelintir kata-kata dan terlihat agak jutek sih 😀 malam itu.

Malam menuju Kebun Raya Cibodas jalanan ramai, lagu The Cure dan lagu hardcore mengalun menjadi playlist perjalanan kami, mungkin cuman Mas Reza yang menikmati hardcore sementara gw mencoba memejamkan mata, yang jujur badan gw lemes malam itu, karena seharian gw cuman makan mie instant.

Sekitar pukul 21.30 wib, kami sampai di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aroma hujan menyambut kami. Tak ada yang banyak berubah di tempat ini, hanya basecamp edelweiss yang sekarang dikelola dengan orang yang berbeda. Malam ini kami (Heri, Gw dan Mas Reza) menginap di homestay dengan tarif 100 ribu untuk tiga orang, sementara Mbak Kiki dan Deby tidur di mobil.

 

Pagi Mari Mendaki

Pagi ini mentari sedikit malu-malu menampakan dirinya, yang tertutup oleh awan-awan putih membawa hawa sejuk pagi itu. Kami bersiap dengan carrier kami masing-masing yang telah kami bagi barang bawaanya,

Pukul 07.00 wib kami mulai pendakian dengan estimasi sampai di Kandang Badak adalah pukul 14.00 wib. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, kita harus mendaftar ulang untuk mengisi form berupa barang bawaan kita baik itu logistik, pisau/golok dll. Dan ingat sampah harus di bawa turun kembali ya.

Kiri - Kanan : Deby, Mbak Kiki, Heri, Mas Reza  (Gunung Pangrango di depan sana)

Kiri – Kanan : Deby, Mbak Kiki, Heri, Mas Reza
(Gunung Pangrango di depan sana)

Bagi Mbak kiki ini adalah pendakian ke dua, setelah sebelumnya mendaki Gunung Papandayan sebulan sebelumnya, sementara Deby ini adalah pendakian perdana yang kata dia untuk dapat izin mamanya lumanyan susah hahaha.

Kami melewati tangga batu yang sudah tersusun rapi sepanjang jalur pendakian dan pemandangan kawasan hutan hujan tropis yang begitu memukau. Telaga warna, Air Terjun Cibereum, Hot Spring adalah beberapa objek yang kita lewati. Yang paling menantang adalah ketika kami melewati jalur mata air panas, dimana jalurnya yang sempit, berbatu (andesit?) dan juga licin ditambah lagi uap nya yang membatasi jarak pandang. Kami harus saling jaga satu sama lain disini dan juga teman pendaki lainnya. Menghilangkan ego adalah jalan terbaik untuk melewati jalur ini.

Peluh dan keringat kami mengucur selama, tetes keringat adalah peluh perjalanan, waktu berjalan matahari meninggi kabut terbang menghiasi pepohonan, tanjakan tinggal beberapa saat mengantar kami ke Kandang Badak, tempat dimana kami menghabiskan malam ini. Kami tiba sektiar pukul 14.00 wib, dimana sudah tampak tenda warna-warni menghiasi Kandang Badak. Iya, tempat ini tak pernah sepi, selalu saja ada teman-teman pendaki yang menghabiskan waktu liburan di Taman Nasional. Kecual bulan Januari hingga Maret dimana Taman Nasional ditutup untuk umum, dengan tujuan mengembalikan ekosistem alam dan juga karena bulan itu juga adalah musim penghujan.

Dua tenda kami bangun, karena ini adalah pendakian perdana Deby, saatnya gw ospek untuk bangun tenda, hemmm cepet juga dia ngerti cara bangun tenda, mungkin next trip dia yang gendong tenda di carrier nya. Hehe.. Sementara Mbak Kiki menyiapkan panganan makan siang bagi kami, aroma sosis goreng dan nugget menusuk hidung :D.

Heri yang kali pertama ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango punya misi sendiri yaitu mendaki dua Gunung Gede dan Gunung Pangrango dalam sekali pendakian :D, and he did it. Yap, sore setelah makan siang pukul 15.00 wib dia berangkat mendaki Gunung Gede sendirian. Mission accomplished her .

 

Gunung Pangrango – Kami Berhasil !!!

Alarm membangunkan gw pukul 02.30 wib, cukup pagi memang, namun masih ada yang harus gw persiapkan sebelum mendaki, dari snack, air minum dll. Entah kenapa semenjak pendakian Gunung Rinjani, gw selalu on-time untuk masalah summit-attack . Tenda sebelah (Mas Reza, Mbak Kiki, Deby) sepertinya masih terlelap oleh mimpi malam itu, mungkin awkward moment Deby, yang harus rela menjadi “obat nyamuk” Mas Reza dan Mbak Kiki :D.

Pukul 04.00 wib, kami memulai pendakian yang sebelumnya kami iringi dengan doa bersama, semoga pendakian kami tak ada halangan, dan alam menyertai niat kami. Udara dingin berhembus masuk ke sela-sela jacket, jalan menuju Gunung Pangrango medannya cukup lumayan, jika terlihat terang banyak jalan-jalan kecil/pintas yang jika kita tak awas dengan rombongan, kemungkinan akan terpisah, walaupun nantinya kita akan bisa bertemu di persimpangan jalan lagi. Namun, tetap bersama adalah jalan aman dalam mendaki gunung.

Kami adalah rombongan pertama memulai pendakian, dimana belum ada pendaki lain yang mulai melangkahkan kakinya ke Gunung Pangrango, gelap menyertai, menghalangi pandangan akan tanjakan-tanjakan di depan sana, mengurangi sugesti kaki yang lemah jika melihat tanjakan yang bertubi-tubi :D.

Tanjakan demi tanjakan menguji kami

Tanjakan demi tanjakan menguji kami

Hingga pukul 06.00 wib, kami masih menuju perjalanan ke puncak, sementara mendung menutupi sinar mentari, dan sunrise pun pupus. Namun, tujuan utama kami bukan terbitnya mentari, kebersamaan hingga puncak dan turun kembali bersama adalah yang utama. Pepohonan pun berganti sembari kami berjalan, banyak yang ditumbuhi lumut dan merupakan perubahan jenis vegetasi karena ketinggian yang berbeda.

Fiuuhh…. akhirnya sampai di tempat datar dan sebuah shelter berdiri tegak, kami sampai di puncak Gunung Pangrango, namun sayang kabut menutupi pemandangan di depan kami. Tak bersua lama, kami sempatkan terlebih dahulu untuk menuju Mandalawangi, tempat favorite Soe Hok Gie itu. Menuju Mandalawangi dari puncak Gunung Pangrango tidak lah lama, kurang lebih 7 menit dengan jalan menurun.

Mandalawangi pagi itu :D

Mandalawangi pagi itu 😀

Mandalawangi adalah padang edelweiss dan juga bisa menjadi tempat camping ground yang cukup luas dibandingkan dengan Kandang Badak. Tempat ini indah, tenang dan angin berhembus mulus melalui lembah. Gw duduk sendiri di salah satu sudut pohon edelweiss, melihat begitu hebatnya alam kami (Indonesia) tak bosan gw menyanjungnya. Dan juga rasa salut gw terhadap dua wanita di pendakian ini. Mbak Kiki dan Deby, mereka mampu mengalahkan dirinya sendiri, tanjakan demi tanjakan seharusnya sudah menghancurkan “mentalnya” jika mereka tak tangguh, beranjak dari pengalam pertama gw mendaki gunung, memang mental mu akan terlatih ketika mendaki gunung. Congrats for them, she conquered hers inner problem.

 

Hujan Menderu Langkah Kami ke Cibodas

Menikmati Mandalawangi memang tak cukup hanya dengan 2 jam saja, mungkin perlu bermalam disini untuk mendapatkan aura indah tempat ini. Waktu adalah lawan yang memang tak pernah mau berkompromi. Setelah mengambil beberapa kenangan berupa foto-foto, kami beranjak turun kembali ke Kandang Badak dan selanjutnya menuju basecamp di Cibodas.

Senyum-senyum turun dari puncak Gunung Pangrango

Senyum-senyum turun dari puncak Gunung Pangrango 😀

Sampai di Kandang Badak, Mbak Kiki menyiapkan sarapan kami, menu masih seperti kemarin malam, sossis, telor dadar, mie instant (ini pantangan Deby), nugget. Sumpah masakan mbak kiki ini enak banget, walaupun emang gw makannya sedikit tapi saat nulis ini gw lagi ngebayangin makanan mbak kiki, shiitt gw jadi laper begini :D.

Hujan rintik mulai turun, carrier gw pun belum tersusun rapi. Hujan adalah tantangan untuk pendakian di musim penghujan seperti sekarang, cuaca sulit di tebak, terkadang cerah siang hari namun hanya hitungan jam tiba-tiba berubah menjadi gelap. Itu juga terjadi kali ini pada kami, hujan yang tadinya rintik mulai turun menjadi.

Mas Reza, Mbak Kiki, Gw, Deby dan Heri telah siap dengan carrier masing-masing, mbak kiki yang punya masalah dengan gelap malam memunculkan adrenaline yang menurut gw luar biasa :D. Heri yang memang jalan selalu di depan, kali ini ditemani Mbak Kiki yang biasa di belakang :D, gw bisa mengerti bagaimana “ketakutan” membangkitkan tenaga entah dari mana asalnya ke diri kita, atau yang biasa gw sebut Mestakung (Semesta Mendukung) ;D.

Kami bertemu lagi di Pos 1, di persimpangan menuju air terjun Cibereum dan jalan menuju Cibodas. Dan ternyata dari pos 1 inilah hujan turun semakin menjadi jadi, gelap pun datang. Kami berlima dengan Heri di depan sebagai lead group pembuka jalan dan gw di belakang untuk menjaga lainnya. Ya, hujan mendekatkan kami berlima dan hujanpun membuat carrier gw bertambah berat. Dan pengalaman ini lah yang selalu gw ingat, “perjalanan terburuk adalah pengalaman terindah”. Dan terimakasih atas pendakian bersama ini.

 

Perjalanan kami berlima, berdesakan dalam mobil, suara music hardcore dan distorsi yang bergema, gunung menanjak dan kepala tetap tunduk untuknya, hujan yang mendengungkan kepala mengingat semua rekaman memori tiap detik itu.

Terima kasih atas perjalan ini.

Wijayaryputu

Tambora Series : Keluarga Baru di Dompu

Ahh.. mood nulis baru nongol lagi, setelah beberapa minggu ini ngurusin lutut kanan gw yang kata dokter otot tendon nya sobek L gegara salah tumpuan pas maen futsal. Yah gini, kerjanya makan tidur chuby (macam babi) . Udahlah pening gw kalo ngingetin saat itu L. Lanjut yah mau ngetik lagi..hehe

Hemm… first of all hemm gw mau berterima kasih sama gift dari orang tua (bapak and ibu) karena gw dilahirkan untuk mandiri, sehingga gw tumbuh berkembang jadi orang yang mungkin kemana-mana bisa sendirian :D, but di balik traveling kesendirian itu gw yakin pasti ada banyak orang baik yang akan gw bisa bertemu dalam perjalanan, dan ini gw alami lagi ketika ke Pulau Sumbawa.

Mereka adalah keluarga Mbak Yuli, seorang lulusan Mahasiswa Pencita Alam di Bima yang aslinya orang Dompu. Rumah yang sangat hangat dan penghuni yang sangat ramah menerima gw dan Marcin, dua orang ‘petualan” pencari jati diri, haha.. Tapi tentu saja, Marcin yang jadi spot light, secara doi bule, kalo gw ?? apalah artinya seorang putu..ngahhaha..

Di rumah itu kami (gw and marcin) dilayani, kami diberikan makan pagi, siang dan malam ahh apa lagi yang kurang. Mungkin kalian tak susah mencari sesorang/keluarga yang baru kita kenal namun melayani kita layaknya keluarga nan jauh disana datang berkunjung. Di dalam hati gw selalu berfikir, bisakah gw membalas kebaikan mereka kelak, walaupun tak seperti apa yang mereka berikan.

Turun dari Gunung Tambora, mbak Yuli dan temannya sudah menunggu di Terminal, siang itu panas seperti biasa, langit biru awan samar-samar tak berani menutupi matahari karena takut hitam. Wajah tak asing sudah gw liat dari dalam bus, malambaikan tangan kepada kami dan bersiap dengan pertanyaan, “gimana pendakian Tamboranya??” hehe…. Turun dan menaikan carrier bag (kulkas) ke atas dan menuju rumah mbak yuli. Perut gw laper akibat akumulasi selama perjalan 5 jam dari Desa Pancasila menuju Dompu, eh sampai di rumah kami sudah dihidangkan nasi + tempe + telor dadar plus sambel .. beehh apa ga serasa di hotel bintang lima. Gw malu sebenernya , dan kalo boleh gw milih beli di luar, tapi yah gimana ya… makaaannnn….. (muka tebal) .

Nah, sesuai itinerary sebelumnya, jika mbak Yuli akan mengajak kami ke Pantai Lakey, yaitu pantai yang terletak di kecamatan Hu’u yang juga katanya tempat surfing terbaik di Pulau Sumba dan kita juga akan bermalam disana, waaahh.. it would be great night!!! Siang itu, beberapa teman mbak yuli muali berdatangan, mulai dari Dewa sama cewenya (maaf gw lupa guys nama kalian satu persatu L ) dll. Kami memutuskan berangkat sore hari, karena kekurangan motor (emang gw nyusain kalian banget ya) , akhirnya kami berangkat setelah Magrib.

Lovely Family

Lovely Family

Hey Irfan :D

Hey Irfan 😀


Perjalanan ke Pantai Lakey

Dari kota Dompu kita akan mengarah ke Barat Daya dengan perjalan kurang lebih 1 jam 30 menit mengendarai motor tentunya dan boleh juga tanpa helm, ahahaha… Marcin berangkat terlebih dahulu ke Pantai Lakey sementara gw bersiap membeli bahan makanan yang di Dompu, dan belanja di toko ini makan waktu hampir 30 menit, bayangin barang bawaan gw yang seharusnya pake Scanner barcode tiba-tiba rusak, dan mereka harus mengeja satu persatu barcode yang ada, dengan barang belanjaan yah… aahhhhhsudahalah.. pokok nya makan waktu, mungkin lo nonton korea uda selesai episode satu, sementara gw masih nungguin mbaknya ngitung belanjaan. Ahaha…

Continue reading

Perjalanan Panjang ke Gunung Tambora : Cerita Perjalanan ini pun Dimulai

12 Jam Lombok – Dompu Yang Penuh Sesak

Pagi itu 25 Juli 2014 alarm handphone berbunyi sekuat tenaga untuk membangunkan dua “kuda nil” yang sedang tertidur pulas pukul 05.00 pagi, sial kata gw, mata masih ngantuk dan udara dingin di kamar seperti godam raksasa yang menahan badan ini untuk setia menempel di bantal. Dan mimpi di tinggal bis lah yang membangunkan tidur gw pagi yang berat itu. Marcin yang saat itu masih tidur pulas akhirnya bangun juga denger suara gaduh dan suhu AC yang sengaja gw kasi turun :D, hahahaha…

Packing selesai, akhirnya sampai juga di terminal Bertais (ada yang bilang Mandalika atau juga Suweta) yang pagi itu cukup ramai karena H-3 hari raya Idul Fitri. Gila, ramai nya ampun belum lagi di tambah pedagang asong yang menjajakan dagangannya, tercatat menurut pengamatan ada pedagang jam tangan, buah-buahan, dagang dompet dan yang paling keren embak-embak yang jualan dompet sekalian jual obat kuat, wahahahaha…shit…. Dan sialnya, gw ketiban “kenakalan” mbak-mbak ini. Dengan santainya, senyum menyerbak sedari jauh ke gw dan Marcin, mendekat dan semakin mendekat, terlihat jelas bedak di muka yang bergradasi dari putih menuju coklat di leher dan lipstick merah menyala menyelalak mata. Mas dompet kata mbak itu, ini dompet kulit mas (dengan akses jawa timuran) bagus, kalah sama yang di toko toko kok mas, gw dengerin terus presentasi mbak itu tentang dompet kulit itu hingga akhirnya si embak menawarkan sesuatu yang menurut gw aneh, seperti minyak tapi gw ga mungkin jualan minyak, tapi itu minyak apa??, Si embak berbisik, mas iki lho minyak mas, iki di oles ben kuat” , Whaaatt thee paaakk…. Njriiittt…… insting ke laki2an normal gw mendadak ‘berontak”, gw bilang, maaf mbak saya ga butuh itu, dan lagian saya masih normal mbak ga perlu gitu-gitu…hahaha… sial, emang dia pikir gw lelaki apakah… jangan sampe deh yaa, lo pada ditawarin juga :D,,,hahhaha

Tiket bis dari Lombok menuju Dompu waktu itu adalah Rp. 250,000, mahal yah!! Yap, karena “tuslah” bulan Ramadhan, hampir semua tiket-tiket baik pesawat maupun bus mengalami kenaikan hingga hampir 100% dari harga normal. Jadi mau protes atau gimana kalo uda kaya gini, yah jalanin aja..:D. Satu lagi, kalo lagi di terminal Bertais, jaga tas mu baik-baik, jadi ketika kamu turus dari angkot dan hendak menurunkan Tas Carrier mu, jangan sampai ada orang lain yang langsung ambil tas dan menaikkannya ke bus, karena mereka akan minta upah dan padahal itu di luar kehendak kita. So, just be prepared!!

Suasana Terminal Bertais (25 July 2014)

Suasana Terminal Bertais (25 July 2014)

Bus berangkat sekitar pukul 09.00 WITA dan sudah terlihat penuh sesak, karena tempat duduk kami ada di urutan paling belakan dengan 3 seat berjejer. Marcin yang tampak complain sepanjang pelayanan bus ini mencoba berdebat dengan kondektur bus, dan dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata :D, sementara gw… ya udah lah Cin, welcome to Indonesia. Hahahah…. Bus berjalan, dan Marcin yang tampak masih kesal duduk di tempat tidur supir tepatnya di belakang toilet bus :D, dan gw yang memang ngantuk berat akibat perjalanan Jakarta – Lombok memilih untuk tidur dan terbangun ketika sampai di Pelabuhan Kayangan (Lombok Timur) menuju Pelabuhan Pototano di Sumbawa.

I love to see them. A couple traveler , one day :D

I love to see them. A couple traveler , one day 😀

Pelabuhan Kayangan tidak sebesar seperti Pelabuhan Lembar di Lombok Barat, namun pemandangan disini keren abis :D, ga bosen-bosen gw melototin pantai dan gosong pasir di lautan sana ketika air sedang surut. Angin sepoi-sepoi menghantam muka lusuh ini. Perjalanan 2 jam ke depan dipastikan akan sedikit membosankan jika cuman duduk-duduk doang, jadilah gw melanjutkan membaca buku Titik Nol karya Agustinus Wibowo, sedikit cerita buku ini menceritakan sebuah makna dari sebuah perjalanan seorang pemuda yang memutuskan untuk mencoba “Backpacker” dari China hingga Afrika Selatan dengan perjalanan darat, budget minim, hingga terkena penyakin Hepatitis ketika menjelajah India, yang bisa di ambil dari buku ini adalah bahwa setiap perjalanan mempunyai kisah tersendiri yang akan selalu bisa kita kenang, dan memberi pelajaran bagi kita untuk semaki dewasa dalam memaknai hidup :D.

Klakson kapal ferry ini bersuara lantang menandakan bahwa sebentar lagi kita akan sampai di Pelabuhan Pototano di Sumbawa. Dari jauh bentang alam Pulau Sumbawa tak berbeda jauh dengan Lombok ataupun Pula Flores secara garis besar, gersang, kering, panas, bayang-bayang akibat terik matahari yang samar-samar terlihat muncul dari aspal memberikan suasana berbeda ketika menginjakan kaki di pulau ini.

I Love Indonesia....!!! Nothing I can't say that I dont love this country

I Love Indonesia….!!! Nothing I can’t say that I dont love this country

Siang menjelang menuju sore dan gw masih di bis ini tergoyang kanan kiri karena si supir yang “edan” ini. Sore menjelang tergantikan oleh lampu kanan kiri yang jarang-jarang terlihat, gw tersadar kenapa banyak orang-orang bilang jika pembangunan di Indonesia ini terlalu “terpusat”, jomplang dan membiarkan daerah yang jauh dari pusat pembangunan “tetap seperti dahulu kala” laiknya jaman “kerajaan”, ada makna mendalam di perjalanan ini mengenai arti keadilan untuk rakyatnya di Negara yang “makmur” ini.

Mural di atas deck kapal, indah dan mendidik

Mural di atas deck kapal, indah dan mendidik

Dering suara handhphone membangunkan tidurku dan tak terasa mulai masuk Dompu, telpon dari Mbak Yuli, seorang wanita hasil buah dikenalkannya gw oleh Macil, walaupun hanya masih melalui SMS, namun gw yakin Mbak Yuli ini orangnya pasti asik banget. Mbak Yuli tiada hentinya untuk memastikan keberadaan gw dan Marcin (maklum bocah 😀 ) , akhirnya tak lama dari gerbang selamat datang di Kota Dompu, kami turun Apotek di daerah Karijawa dan tak lama seorang wanita datang mendekati kami orang asing dengan tas besar bercover orange menyala dan berkata “Hai mas Putu, akhirnya sampai juga yaa….!!!, wajah pucat gw beranjak mulai sedikit bersinar walaupun pekat. Karena, perjalanan panjang gw dari Lombok menuju Dompu sampai sudah, dan mala mini waktunya hibernasi untuk sementara menjemput esok hari yang masih tersisa 5 hingga 6 jam perjalanan lagi ke Desa Pancasila.

 

Senja Menenggelam Mengamini Perjalanan Kami Menuju Desa Pancasila

Tak terasa malam kemarin bagaikan rangkaian mosaic yang yang terpilah-pilah untuk menyatu dalam suatu rangkaian perjalanan kami. Malam yang melelahkan dan hari ini di sambut pagi yang terburu-buru melekas siang, gw terbangun agak telat di rumah Mbak Yuli dan begitu juga Marcin. Entah mengapa, mata ini begitu berat untuk hanya sekedar melihat pagi. Namun suara anak kecil berlarian di luar sana membangunkan gw untuk melihat sedikit kehidupan anak-anak di Dompu. Menengok keluar, beberapa anak-anak sedang bermain bola, namun ada yang menarik disini, dimana salah dua dari teman mereka menjadi tiang gawang dengan mungusung bilah bamboo di kepala mereka. Pemandangan betapa sederhananya anak-anak disini, dibanding dengan apa yang sering gw liat dengan anak-anak kecil di Jakarta sana, yang asyik dengan “gadget” masing-masing dan tak peduli sekitar.

Gw dan Marcin,,,he's a good guy

Gw dan Marcin,,,he’s a good guy

Wangi teh panas meraba perlahan bulu-bulu hidung ini, ditemani sarapan pagi masakan Mbak Yuli (gw ga ngerti harus bilang terima kasih ke mereka). Telor dadar dan tempe goreng pagi ini cukup jadi bekal menemani perut kami hingga desa Pancasila nanti ;D . Oya, info dari Mbak Yuli, bus yang berangakat dari Dompu menuju Desa Pancasila terbagi menjadi dua schedule. Ada yang pagi jam 8 dan jam 14.00 wita. Jadi, dikarenakan kami perlu istirahat maka bus pukul 14.00 wita adalah pilihan yang tepat.

Emak emak cerewet di sebelah gw :D, maaf bu saya ga bisa bahasa lokal :D

Emak emak cerewet di sebelah gw :D, maaf bu saya ga bisa bahasa lokal 😀

Pukul 13.00 wita kami telah tiba di terminal Dompu, terminal tampak tak terlalu ramai dibandingkan dengan Bertais kemarin. Bis yang ‘elegan’ ini menunggu penumpang yang hendak menuju Desa Pancasila dengan biaya Rp.40,000. Ternyata, yang di angkut bus ini tak hanya kami para kaum manusia, para kaum ayam dan telurnya pun bisa naik, dan ada tambahan lain dari barang-barang penumpang yang lain, seperti seng, asbes, kursi, meja dan apapun menurut gw yang masih bisa di angkut kecuali rumah. Tempat duduk pun “suka-suka” selama masih ada tempat untuk duduk, walaupun harus di pangku (ini juga namanya duduk kan) juga masih bisa naik. Prinsip bis ini adalah naikan penumpang sebanyak-banyak nya selagi bisa :D. hehehhe….  Dan juga ada pengalaman lucu ketika bus baru berjalan sekitar 10 menit, seorang ibu yang terus berkomunikasi dengan gw dengan Bahasa lokal Dompu, entah apa maksud dari ibu ini, gw hanya mencoba untuk mendengarkan apa yang ia utarakan hingga akhirnya beberapa patah kata gw lontarkan “Maaf Ibu, saya tidak bisa Bahasa Dompu”, ahaha,, dan lelaki muda di sebelah gw ini tertawa segilanya, ahahah 😀 siaall….. “ngatain gw kayanya”.

Pemuda lokal ga kalah ganteng sama personil nya Smash

Pemuda lokal ga kalah ganteng sama personil nya Smash

Kami duduk di barisan belakang bersama ibu-ibu dan anak muda yang juga dengan tujuan yang sama. 2 jam pertama gw larut dalam kantuk dan tidur untuk melewati beberapa pemandangan menarik kata Marcin. Gw ingat pesan Mbak Yuli, setelah pantai Hok’do, kalo bisa duduk di atas bus, karena kita bisa liat padang savanna dengan latar matahari tenggelam. Namun, anjuran itu hanya sekedar wejangan karena ketika kami sampai di Hok’do dan meminta kesempatan untuk duduk di atas, kondektur melarang kami karena tempat duduk di atas sudah penuh, ahahaha….

Ini bus kami,,, ayo mau duduk di atas :D,hehehe...

Ini bus kami,,, ayo mau duduk di atas :D,hehehe…

Senja menenggelam, hanya silhoute malam yang gw liat kala itu. Tak banyak rumah yang gw liat sebelum memasuki Desa Pancasila dan beberapa jalan masih dalam perbaikan karena akan menyambut 200 tahun letusan Gunung Tambora tahun depan (2015). Benar, kata Mbak Yuli, setelah pantai Hok’do setelah lewat tanjakan kita akan melewati padang savanna tempat para pengembala melepaskan ternaknya. Mungkin akan lebih jelas jika gw duduk di atas atap bus.

GPS handphone gw menujukkan sebentar lagi akan sampai di Desa Pancasila, salah satu jalur pendakian Gunung Tambora dan langit telah gelap, bumi telah berotasi dengan adil dan memberikan malam bagi kita manusia di belahan timur. Kami tiba di tempat “shelter” Bang Ipul sekitar pukul 20.15 WITA dengan hanya tersisa 2 penumpang yaitu gw dan Marcin, hahaha…

Continue reading